KRITIK ESAI PUISI
Sajak “Hatiku Selembar Daun” Karya Sapardi Djoko Damono
Daun,
Kehidupan dan Tanda;
Hatiku
Selembar Daun karya Sapardi Djoko Damono
oleh
Siti
Halimah
...
Ada
yang masih ingin ku pandang
Yang
selama ini senantiasa luput
...
Betapakah dari kutipan sajak “Hatiku Selembar Daun” di atas menjadi
tolak ukur pengarang dari isi sajak tersebut. Betapakah pengarang ingin sejenak
menikmati yang senantiasa luput dari penglihatannya: kehidupan.
Hatiku Selembar daun
Sapardi Djoko Damono
Hatiku
selembar daun
Melayang
jatuh di atas rumput
Nanti
dulu
Biarkan
aku sejenak
Terbaring disini
Ada
yang masih ingin ku pandang
Yang
selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
Sebelum
kau sapu
Tamanmu
setiap pagi
Sapardi yang akrab dipanggil, menjalani
masa kecilnya bersamaan dengan tengah berkecamuknya perang kemerdekaan pada
saat itu. Sebagai sosok yang tumbuh dalam situasi sulit seperti itu,
pemandangan pesawat yang menjatuhkan bom dan membakar rumah-rumah besar
merupakan hal yang biasa bagi Sapardi kecil.
Dalam bukunya, Sapardi
mengisahkan bahwa awalnya kehidupan keluarga dari pihak ibunya terbilang
berkecukupan, namun nasib manusia memang bak roda yang terus saja berputar,
kadang di atas kadang di bawah, demikian halnya dengan keluarga Sapardi, saat
Sapardi kecil hadir keadaan pun berubah, mereka harus menjalani hidup yang
sulit. Masih segar dalam ingatan Sapardi, saking susahnya ia hanya makan bubur
setiap pagi dan sore. Untuk menafkahi keluarganya, ibunda Sapardi, Sapariah,
berjualan buku. Sementara ayahnya, Sadyoko, memilih hidup mengembara dari satu
desa ke desa lain untuk menghindari kejaran tentara Belanda yang kala itu kerap
menangkapi kaum laki-laki. Sang ayah memang bukan seorang pejuang, tapi tentara
Belanda kala itu berpikir tentara itu kebanyakan laki-laki.
“Mungkin karena suasana yang ‘aneh’ itu menyebabkan saya memiliki
waktu luang yang banyak dan ‘kesendirian’ yang tidak bisa saya dapatkan di
tengah kota,” kata Sapardi.
Walaupun memutuskan untuk lebih
banyak tinggal di rumah dan menikmati ‘kesendirian’, hobi keluyurannya tak
lantas berhenti begitu saja. Namun, ‘keluyuran’-nya bukan dalam arti fisik di
dunia nyata melainkan dunia batinnya sendiri: berimajinasi dan menrangkai kata.
Sambil menikmati masa
‘kesendirian’-nya itu, Sapardi mulai menulis puisi. “Saya belajar menulis pada
bulan November 1957,” katanya. Sebulan setelah belajar menulis, karyanya berupa
sajak dimuat di majalah kebudayaan yang terbit di Semarang. Tahun berikutnya,
sajak-sajaknya mulai bermunculan di berbagai halaman penerbitan yang antara
lain diasuh oleh HB. Jassin. Itulah kehidupan Sapardi Djoko Damono yang lahir
pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo.
...
Hatiku
selembar daun
Melayang
jatuh di atas rumput
....
Dalam dua larik ini adalah Pengibaratan antara aku lirik dengan
selembar daun dan kemudian melayang-layang dan jatuh diatas rumput. Hal ini
menunjukan betapakah hatinya seperti daun yang melayang di atas rumput yang
mengibaratkan pearasaannya yang tidak karuan.
Atau ada juga yang mengibaratkan Sapardi yang mengibaratkan ada daun
yang jatuh dan sembari merenung bahwa kematian itu dekat sekali, lebih dekat
seperti daun yang jatuh ke tanah dengan tenang.
...
Nanti
dulu
Biarkan
aku sejenak
Terbaring
disini
...
Ungkapan untuk menikmati pembaringanya, hingga pada akhirnya ia ingin
menikmati dulu kehidupan sebelum kematian itu datang, dan biarkan sejenak ia
muhasabah diri dengan kehidupannya.
...
Ada
yang masih ingin ku pandang
Yang
selama ini senantiasa luput
...
Mengapa aku lirik ini ingin menikmati dulu pembaringannya? Karena
ini, karena ia menemukan suatu hal yang istimewa yang selama ini luput dari
pengamantan/persaannya. Yang patut ditanyakan, apa sih yang luput dari ingatannya
itu? Dan yang saya tafsirkan adalah kehidupan dan kematian.
...
Sesaat adalah abadi
...
Karena bagi ‘aku lirik’ kehidupan itu adalah sesaat adalah abadi, meskipun
sesaat ini akan menjadi suatu hal yang abadi yang tak akan pernah terlupakan di
kerenakan sebelumnya tidak pernah dirasakan
...
Sebelum
kausapu
Tamanmu
setiap pagi
...
Pernyataan kepada suatu hal yang mampu menyapu taman”dunia lain”
setiap pagi. Ya, sebelum taman yang
diibaratkan makam itu disapukan setiap pagi.
Atar Semi mejelaskan (Semi, 44:2013), bahwa yang menggunakan pendekatan
semiotik ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari pendekatan objektif dan
pendekatan struktural, yaitu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada
penelaahan sastra dengan mempelajari berbagai unsur didalamnya tanpa ada yang
diangapa tidak penting.
Dalam hatiku selembar daun tentunya ada sebuah tanda yang
menunjukan bahwa hal ini adalah yang menunjukan kehidupan, yang di antaranya
adalah jatuh di rumput, terbaring di
sini, senantiasa luput, sesaat adalah
abadi, sapu taman setiap pagi. Dari
setiap tanda yang ada pada setiap larik tersebut tentunya telah menjadi tanda
yang ingin menikmati kehidupan sebelum kehiudpan yang benar-benar fana ini
berakhir, tanda tersebut menjadi benang merah antarbait untuk mengungkapakan
apa yang hendak disampaikan Sapardi dalam puisinnya itu.
Maka dari setiap larik terdapat kesederhanaan penyair dalam
menyampaikan risalah kehidupannya yang sejenak ini telah membius pembaca untuk
masuk pada setiap larik yang disuguhkan.
Dalam esainya Soni Parid Maulana menyepakati sebuah definisi
sederhana menegani puisi yaitu uangkapan perasaan, semacam nyanyian jiwa yang
menyeruak dari kedalam kalbu sang penyair, apapun nyanyian itu dan tentunya
pula hal ini beruursan dengan gaya bahasa. Maka berkaitan dengan ungkapan
tersebut maka jelas pulalah betapa Metafor-metafor yang ditampilkan disetiap
sajak “Hatiku Selembar Daun” karya Sapardi begitu lugu untuk dibaca.
Hingga sapardi berhasil membaca pembaca dalam penafsiran yang berbeda. Begitu
banyak penafisran yang saya dapatkan ketika pengkajian puisi ini. Ada yang
berpendapat pula selain kehidupan, sapardi juga menggambarkan cinta sapardi
yang tak pernah terungkap. Namun inilah kelihaian sapardi dalam mengobarak-
abrik kata-kata sederhana ini menjadi metafor yang luar biasa dan menimbulkan
pemaknaan yang berbeda pula. Namun hingga pada akhirnya dalam sajak sapardi ini
tentu sangat jelas dengan simbol sesaat adalah abadi yang menunjukkan kapabilitas
seorang manausia yang hidup didunia ini hanyalah sesaat. Namun jelaslah
daripada hal ini bahwa yang terkandung dalam puisi sapardi adalah kehidupan.
SUMBER BACAAN
Nurlailah,
Laelasari. Ensiklopedia Tokoh Sastra Indonesia. Bandung: Nuansa
Aulia, 2007.
Semi, Atar. Kritik
Sastra. Bandung: CV Angkasa, 2013.
Maulana, Soni
Farid. Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi. Bandung: Nuansa,
2012.
Suroso,
dkk. Kriktik Sastra (teori, metodologi dan aplikasi). Yogyakarta: Elmatera
Publishing, 2008.
No comments:
Post a Comment