Perempuan yang akrab dengan Sunyi dan Kopi. Setelah mencintai Mahari, Bunga, dan Tamtam. Ada yang lebih aku cintai yaitu ular, katak dan laba-laba.- Siti Halimah

PENA


                                             Oleh: Siti Halimah

Dalam gurat kemerdekaan aksara. Pena telah menjadi sayap ketika langkah mulai lelah. Pena menjadi titisan yang terang dalam bermalam. Aku, aku terhempas olehnya bahkan tertindas untuk menyatakan sepi tanpanya. Penalah yang kini berjasa dalam sepiku. 

Entahlah, pena ini selalu menjadi sesuatu yang terlupa oleh mahasiswa. Aku, aku yang tak bisa jauh dari pena seperti yang kudengar.   
“Nar, kau tak menulis hari ini?”tanyaku
“Penaku tertinggal, bahkan aku lupa pena itu di simpan dimana?”jawab Nara tak peduli
“Lha, kok bisa seperti itu, Nar. Ini sudah kesekian kalinya kau bilang penamu tertinggal”
Percakapan yang tak pernah berbeda jauh saat perkuliahan berlangsung sebelumnya. Nara, nara yang selalu lupa dengan tidak membawa penanya. Jarang sekali ia mencatat mata kuliah. Dengan alasan penanya tertinggal, bilangnya  nanti ketika pulang ia kan mengganti catatannya. Nara, memang kuat hafalannya bahkan dengan lantang ia selalu  bericara…”biarlah tak ada pena. Kepalaku pasti bisa menjaga yang tak kucatat”.
Itulah  kata sombong yang kerap kali Nara bilang. Selalu seperti itu.   
***
Ketika sedang melaksanakan acara rutinan. Acara yang selalu kami lakukan yaitu Reboan. Reboan adalah suatu kegiatan dalam komunitas kami—ajang diskusi tentang menulis serta buku yang telah kami baca.
“Bagaimana menulis kalian hari ini?”
Setiap kami reboan kak Soni selalu bertanya seperti itu. Bertanya tentang kepenulisan kami. Terkadang aku selalu merenung dengan pertanyaan kak Soni. Sebab, kak soni selalu bilang tentang hal yang membuatku semangat untuk menulis. Dan sebab pula, ia—ia adalah inspirasiku untuk menulis.
“Penaku ketinggalan, Kak…”
Nara, lagi-lagi nara berbicara kalau penanya ketinggalan. Ah, kata itu adalah kata yang bosan kudengar. Sebab, sering sekali aku mendengar “Penaku tertinggal”. 
“Kau, memang selalu seperti itu Nar. Bosan aku mendengarnya”ucapku memelas kata.
“Aku lupa, ya… mau gimana lagi…”
Suasana menjadi hening. Setiap sudut ruangan menundukkan kepala. Ada yang menoleh ke Nara, ada pula yang nunduk— sebab, tak salah lagi diantara mereka—mereka yang nunduk pasti pena mereka selalu tertinggal pula.
“Pena adalah benda kecil yang kerap kali seorang pelajar lupakan, terutama mahasiswa. Entahlah, terkadang Kak Soni bingung mengapa banyak diantara pelajar, termasuk kalian selalu melupakan hal itu. Melupakan pena yang tak seharusnya kalian lupakan. Tanpa pena kita tidak bisa mencatat!“ucap Kak Soni keras
“Laptop…?”sanggah Nara
“Apakah kita akan tergatung dengan teknologi? Kalian tahu, dengan mencatat kita bisa menguatkan memori. Misalnya, ketka kita membaca buku. Maka catatlah hal yang penting dari buku itu dengan apa?dengan pena. Agar apa? Ya...agar memori kita menangkapnya dengan kuat. Sebagai catatan kecil dikemudian hari. Sifat manusia itu terkadang pelupa. Ingatlah itu…’setiap manusia itu terkadang memiliki sifat lupa’…”
Semua mata tertuju pada kak Soni. Kata-kata kak soni menghipnotis kelas. Dan suasana kelaspun semakin menegangkan.  
“ketika kita kuliah dan tidak membawa pena. Mau pakai apa kalian untuk tanda tangan kehadiran? Apa mau pinjem? Mau pakai tangan saja?. Nah, apakah kalian tidak malu jika meminjam terus. Mending jika tangan kalian adalah tangan ynag bisa mengeluarkan garis tinta,”ucapku kesal.
Entahlah, aku sudah bosan dengan perkataan “Penaku tetinggal”. Aku sudah bosan dengan kata itu. Apa yang ada dalam benak orang-orang yang selalu meninggalkan penanya. Mungkinkah ia tidak belajar malam? Atau mereka tidak memiliki pena karena tidak memiliki uang untuk membelinya. Terus uang jajan mereka?.
Nara terlihat sangat sedih. Mungkin ia menyadari tentang kebiasaannya tak membawa pena. Ketika suasana lelap dengan perdebatan tentang pena. Tiba-tiba penaku terjatuh, dan sontak semua mata beralih kepada pena yang terjatuh itu. 
kenapa pena itu mengingatkan aku padanya. Padanya yang telah bahagia di alam sana. Aku yakin itu. Sudah sekian lama aku tak bertemu dengannya. Sahabatku yang kini sudah tenang dialam-Nya.  Ia memang berbeda dengan Nara. Nara, yang kerap kali tak membawa pena. Bahkan ia meninggal di sebabkan karna ingin menyelamatkan penanya yang terjatuh di jalan— hingga ia tertabrak.
Dan ini, ini adalah pena yang ia selamatkan. Tak terbendung lagi aku ingin menangis. Semakin sulit bagiku mengambil pena yang terjatuh ini. Dan lagi-lagi aku ingin menagis ketika aku menjatuhkan pena ini, dan harus mengambilnya lagi. 
“Sha, aku takut tak bisa mnejaga penamu ini, Sha”
Pena yang jatuh ini milik shasa yang kini telah ada di sisinya. Ketika ia menghembuskan nafas terakhir, ia memberikan pena ini padaku.
“Aku yakin kau bisa menjaga pena ini. teruskan aku—aku yang ingin jadi penulis. Tolong jangan kau sakiti pena ini. pakailah jika kau membutuhkannya. Sebab, aku yakin kau pasti sangat membutuhkannya. Bawalah pena ini kemana pun dan dimana pun kau berada. Jika nanti tintanya telah habis, gantilah dan isilah dengan ikhlas. Gunakan pena ini dengan ikhlas…”ucapnya ketika itu sembari memegang tanganku. Dan menutup mata untuk selamanya. 
Kata itu yang selalu kutakutkan. Sangat kutakutkan. Meski aku tidak pernah tahu aku bahkan aku tak pernah berpikir kalau Shasa akan memeberikan penanya padaku.
Di sela-sela saat pena pemberiannya menyapa dan akan  ku ambil.
Ah, kenapa? kenapa ia selalu hadir di saat aku ingin tak menyapanya lagi? Aku merasa tak bisa menjaga pena itu hingga aku selalu rindu ia. Aku ingin ia kembali lagi dan menjaga penanya. Dan tak lama kemudian aku menjatuhkan air mata.
“Kau, kenapa lama-lama disana. Apa yang kau cari, cepat ambil penamu. Sekarang kita mulai belajar!”  
Suasana kelas semakin tegang. Entahlah aku tak mampu menatap mereka, aku takut menangis.Meski hatiku sudah menangis. Dan aku hanya ingin menambahkan segalanya— menjadi pena yang selalu di bawa olehnya.
Aku memaksakan diri untuk menatap mereka yang tak membawa pena. Selama ini aku selalu menahan hati ini untuk tidak memikirkan mereka yang tidak membawa pena. Tapi tetap saja tidak bisa, ketika mereka tidak membawa pena aku merasa telah berbohong pada Shasa.
“kau ini, perhatikan pelajaran hari ini. dan segeralah menulis. Berajaklah dari lantai itu. Dan duduklah…”  
“Iya kak,” jawabku pelan sembari duduk dan mengambil pena yang terjatuh. 


....


           



                                     ditulis pada tahun 2015 saat pelatihan menulis FLP Cianjur.





No comments:

Post a Comment

BERBAHASA SEJAK LAHIR

  BERBAHASA SEJAK LAHIR :Siti Halimah   “Terdapat banyak bukti bahwa manusia memiliki warisan biologi yang sudah ada sejak lahir berup...