Perempuan yang akrab dengan Sunyi dan Kopi. Setelah mencintai Mahari, Bunga, dan Tamtam. Ada yang lebih aku cintai yaitu ular, katak dan laba-laba.- Siti Halimah

Sekumpulan Cerpen Lalu

Cerpen 1


Misteri Ayam Balkon   
                                                                                                   
“Bangun Nak, sudah subuh cepat ambil wudhu dan sholatlah!”. Sapa ibu sambil memegang badanku.
“iya, Bu”. Sahutku lemas
Hari semakin siang, dan  hari  ini ayam lebih awal bangun dariku. Tapi tak apa,  karena ayam baru mengalahkanku pagi ini saja. Ketika aku beranjak  ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, ayam menunggu. Entahlah...apa yang ayam itu tunggu, tapi ayam itu terlihat kedinginan. Dia hanya diam diam dan diam tanpa bersuara. Apa ayam itu sedang memikirkan sebuah masalah atau kedinginan? tapi,jika pun kedinginan dia pasti menyembunnyikan sayapnya dan jongkok tanpa bergerak, tapi ayam ini berbeda, dia berdiri, menoleh ke kanan, ke kiri kedepan, ke belakang, dan terus saja seperti  itu. Ayam itu seperti satpam yang menunggu kamar mandi. Berhubung Kamar mandi di rumahku menyatu dengan alam jadi ayam selalu berdiri di atas balkon kamar mandi.
Hingga hari berikutnya aku bangun dengan tergesa-gesa dan saat itu adzan subuh juga belum, tapi aku ingin bangun lebih awal dari pada ayam.
“Tumben Nak sudah bangun?”tanya ibu heran.
“iya dong bu”. Jawabku singkat.
“Ah, biasanya kau bangun setelah adzan subuh, bahkan 30 menit setelah adzan subuh kamu baru mengambil wudhu”. Kata Ibu mengejek
“hehe...Ibu, memangnya kalau aku bangun sebelum ayam berkokok gak boleh ya...?” jawabku memelas menuju kamar mandi.
Ibu langsung beranjak kedapur, seperti biasa ibu selalu masak pagi-pagi  karena aku dan adik selalu berangkat kesekolah pagi.
Ketika aku mau mandi, lagi-lagi ayam itu berdiri diatas balkon, dan entah apa yang dia lakukan yang pasti kegiatannya tak jauh berbeda dari hari sebelumnya yaitu berdiri, menoleh kekanan, menoleh ke kiri, dan menoleh kedepan serta kebelakang.
Aku memperhatikan ayam itu, terus memperhatikannya hingga matahari mulai mengintip, aku sengaja mandi lama agar aku tahu apa yang dilakukan ayam itu setelah siang menjelang, dan kapan dia beranjak dari balkon. Namun seeusai mandi ayam dia tidak pergi juga dan ketika mau berangkat sekolah pun ayam itu masih juga belum beranjak.
“Ayam itu selalu membuat aku penasaran?”gumamku sembari bergegas kesekolah.
Ketika di jalan aku menceritakan pada temanku yang bernama Aas , bahwasannya aku mempunyai ayam yang selalu diam diatas balkon. Tapi dia hanya senyum-senyum saja dan dia mengatakan aku terlalu berlebihan, ayam saja diperhatikan. Dia tidak tahu bahwa ayam itu benar-benar aneh, aku merasa ada yang ayam sembunyikan. Tapi temanku kukuh dengan ketidak percayaannya terhadapku.
“Kau ini bagaimana sih, masa ayam kau anggap detektif?”.Ejek Aas sembari tertawa. Setiap aku cerita ayam itu kepada Aas, dia selalu mentertawakan aku, dan hanya mengatakan bahwa aku terlalu banyak berhayal.
*
Waktu tak pernah berhenti dan selalu berputar meski sejenak bernafas dengan rasa kepenasaranku yang semakin meningkat. Ketika malam tiba aku mencoba melihat aktivitas ayam itu,dan ternyata jam 19.00 wib, ayam itu belum terlihat diatas balkon.
“Jam berapa ayam itu naik ke atas balkon, kenapa jam segini belum ada?”gumamku dalam hati.
Aku kembali ke kamar dengan rasa penasaran yang enggan pergi setelah ayam itu hadir diatas balkon. Aku tidak bisa tidur malam itu, rasa penasaran itu semakin besar. Jarum jam menunjuk ke arah angka sembilan, waktunya untuk tidur. Tiba-tiba aku mendengar suara ayam berkokok.
“Sepertinya itu ayam yang selalu ada dibalkon”. Aku bergegas kekamar mandi untuk memastikan apakah itu benar ayam yang selalu ada di balkon. Dan ternyata itu memang benar-benar ayam yang selalu ada dibalkon.
“Ternyata, ayam itu selalu naik keatas balkon sekitar jam sembilan malam”.gumamku dalam hati.
Sedang apa ayam itu, tapi sepertinya dia mau tidur. Terlihat matanya mulai menutup, dan sayapnya mulai ditutup, ayam itu hendak duduk.
“Ayam itu hanya numpang tidur, dan mungkin dia hanya kesepian saja tidak punya teman untuk berdiskusi jadi dia memilih di balkon agar suara air menemani kesepiannya”. Pikirku sembari memperhatikannya. Hari semakin malam aku bergegas ketempat tidur untuk beristirahat.

**
Tak terasa malam cepat berlalu. Seperti hari-hari sebelumnya sesudah bangun aku hendak kekamar mandi, dan terlihat ayam itu sudah bangun. Tak lama kemudian ada kucing yang menghampiri ayam itu, kucing diam disampingnya.
Sepertinya terjadi percakapan diantara mereka, namun aku tak tahu secara pasti percakapan apa yang mereka bicarakan. Timbul dalam banyangaku percakapan ayam dan kucing.
“Hai ayam, apa yang kau lakukan disini, setiap hari kau selalu ada di balkon ini” . Tanya seekor kucing dalam bayanganku.
“Hai, aku hanya butuh teman untuk meramaikan hatiku yang sepi dan aku merasa air ini menemani kesepianku, makannya aku senang berada diatas balkon kamar mandi ini, terus sedang apa kamu disini?’. Tanya ayam dan  suaranya semakin keras dalam bayanganku.
“Aku sedang memperhatikanmu dari kemarin,  setiap malam kau dibalkon ini tanpa teman, dan kau membuat aku penasaran ,Mungkin aku bisa menjadi temanmu?”. Sahut Kucing dalam bayanganku.
Andai aku tahu apa yang mereka bicarakan mungkin aku tidak akan berkhayal, sampai-sampai aku berkhayal terlalu jauh serta mendeskripsikan percakapan kucing dan ayam, seolah percakapanku dengan ayam. Tapi aku membiarkan mereka diatas balkon itu.
***
            “Aku pulang....”teriakku sambil membuka pintu. Dari luar sudah harum dengan makanan kesukaan ipin upin, yaitu ayam goreng.
“Kamu ini nak, kamu muslim kan, ucapkan salam kalau masuk rumah itu, biasakan nak”. Sapa ibu lembut
”Iya bu, Karin lupa.” Celotehku sambil mencium tangan ibu
“Ya sudah makan dulu, Nak” suruh ibu, sambil menyodorkan sepiring nasi dan Ayam goreng.
“Wih..asyik makan dengan ayam goreng, Ibu lagi banyak uang ya, bagi dong”. Ejekku memelas manja
“Uang darimana nak, ayahmu kan belum pulang. Ayam ini ayam hitam yang selalu ada diatas balkon, Tiba-tiba ayam itu mati, ibu juga tidak tahu ayam ini matinya kenapa.”kata ibu sambil makan
Aku kaget sampai-sampai aku tidak nafsu makan ketika ibu berkata bahwa ayam yang selalu ada di atas balkon itu tiba-tiba mati, kenapa dengan ayam itu, dia mati dan meninggalkan misteri penasaranku terhadapnya.
Pemikiranku semakin berputar dan semakin berpikir tak karuan. Apakah ayam itu mati karena penyakitnya?, Apakah yang dia lakukan diatas balkon adalah hari-hari terakhirnya?, Entahlah...pikiranku semakin ngaco dan tak bisa ku kendalikan.
“Nak, ayo makan. Kenapa kau bengong seperti itu. “ suruh ibu sambil memegang bahuku.
“Iya Ibu”. Jawabku kaget.
Sampai sekarang aku tak bisa memecahkan misteri ayam itu dengan Bukti yang nyata, aku hanya bisa berkata dengan pikiran dan kejadian yang ada. Semoga kita bisa bercakap diakherat nanti ayam balkon, aku tidak akan melupakan rasa penasaran ini terhadapmu. Dan akhirnya balkon itu akan menjadi pemandangan yang kosong dimataku karena kau telah meniggalkannya.

cerpen 2


Tertinggal Tanpa Cerita
Oleh : Siti Halimah

Tatkala liburan telah tiba dan pengabdian pada masyarakat pun dimulai, kami hanya dibekali dengan segudang pembekalan untuk bermasyrakat. Dengan membawa berbagai peralatan yang diperlukan ditempat yang akan kami singgahi selama dua minggu, minggu siang itu pun kami berangkat. 
Di Desa Darungdung Kecamatan Cikalong kulon , disana kami mulai melaksanakan tugas akhir tahun dari sekolah, kami terbagi dalam 4 kelompok dan  di tempatkan dalam satu desa, dalam tugas itu kami diberi amanah untuk memasyarakatkan masyarakat dengan kemampuan kami. Dan tentunya banyak pengabdian yang harus kami lakukan disana seperti membantu aparat desa, membantu anak-anak Madrasah Diniah dalam belajar, mengikuti kegiatan dipesantren setempat, dan mengisi waktu luang anak-anak sekolah dasar selama mereka liburan,serta mengikuti berbagai macam ritual religius yang dilaksanakan didesa tersebut yaitu pengajian ibu-ibu, rutinan serta kegiatan lainnya.
“Aduh..dimana ini, jauh sekali rumah kontrakannya, sudah 2 jam perjalan ini? Keluh Delis yang mulai kecapean. 
“sabar, sebentar lagi kita sampai, diujung sana sudah kelihatan rumahnya?”tunjuk bu husna sambil mendekati Delis.
Kami langsung melanjutkan perjalanan, karena terlihat sore itu juga nampaknya hujan akan turun. Dengan langkah yang tanpa ragu aku memimpin jalan agar kami cepet sampai.
“ayo teman-teman, beberapa langkah lagi kita sampai ke kontrakan itu!” teriakku semangat.
Rumah yang akan kami tempati itu sepertinya nyaman untuk ditempati, tapi beberapa meter sebelum kami sampai ke rumah itu, sepertimya rumah itu sudah di tempati karena terlihat ibu-ibu sedang  mengangkat jemuran pakaian dan kami pun mendekat.
“apakah  ade-ade ini dari pondok pesantren al Miftah yang akan tingggal di desa kami serta akan  menempati rumah ini?”sapa ibu itu sambil menjemur pakaian.
“iya ibu !”, jawab heran Ibu Mariam
“maaf Ibu, kontrakannya sudah dialihkan ke sebrang jalan sana, nanti pemilik kontrakan ini juga akan kesini, bisa ditunggu sebentar bu”. Kata ibu itu sambil mempersilahkan kami ke rumah.
Kami pun terdiam, kami saling lirik satu sama lain, karena tidak ada konfirmasi sebelumnya sehingga kami pun tidak tahu keadaan  kotrakan kami yang akan kami tinggali saat itu. Kami mencoba untuk bersikap tenang dan nampak biasa-biasa saja namun sepertinya hal itu sulit dilakukan oleh nindi, nindi tampak gelisah karena biasanya kalau di oper kontrakan itu selalu menimbulkan tempat yang tidak layak untuk orang yangg dioper.  Tak lama kemudian Ibu kontrakan datang. 
“Maaf Neng kontrakannya dipindahkan, mari ikut Ibu”. Ajak Ibu kontrakan sambil jalan.
Entah apa yang merasuki pikiran kami, tapi tiba-tiba kami pun hanya diam dan mengikuti arah Ibu kontrakan tersebut melangkah. Hingga kami tiba disebuah kontrakan yang mungkin tak layak huni untuk jumlah kami, dimana kontarakan itu pun tidak mungkin kami tempati dengan jumlah kami 10 orang, kontrakan itu sering disebut kost-an yang mana hanya cukup dihuni oleh satu orang saja.tapi apa boleh buat, ini bukan waktunya untuk kita mengeluhkan keadaan yang telah mejadi bubur tak dimasak.  
Kami tak mampu berkata apa-apa, ketika kami beristirahat suasana menjadi menyedihkan ada yang nangis, ada yang marah-marah dan ada yang hanya diam saja tidak bicara apa-apa. Protespun kami tak mampu karena tak mungkin kami harus pulang lagi untuk membatalkan rencana, dan mencari kontrakan lagi !,itu bukan waktu yang  tepat serta tidak mudah.
“Sudahlah...kita harus terima keadaan ini, pasti ada rencana yang indah buat kita, semangat dong pengabdian kita baru dimulai”. Sentak bu Husna memberi semangat.
Waktu berganti tapi berbeda dengan kami sepertinya malas sekali untuk melakukan aktivitas jangankan aktivitas kami juga malas untuk sholat dan makan,tapi beruntung ada ibu mariam yang sabar dan baik hati, beliau terus memberi kami semangat hingga kami menyadari bahwa kami tidak boleh seperti ini terus, dan kami harus bangkit, jangan sampai semuanya terbengka;ai hanya karena kontrakan.
Ini hari ke- 3 pun kami awali dengan senam pagi bersama di lapangan dekat kontrakan.
“Mungkin ini saatnya untuk kita kembali pada tujuan pertama kita di kampung ini, yaitu memasyakatkan masyarakat, ayo teman-teman semagat...”. semangat pagi yang diawali oleh Rara
Kami pun bergegas ke lapangan dengan agenda senam pagi, setelah senam pagi kami mengurus pribadi masing-masing, dan membagi tugas yang akan dilakukan di  hari ke-tiga itu. Kebetulan hari ke-tiga itu aku mendapat jadwal untuk mengunjungi desa bersama amelia, disana kami  akan membantu aparat desa untuk melakukan kegiatan mereka sehai-hari, dan di desa juga sedang diadakan pembuatan KTP masal jadi kami bisa membantu penulisan identitas penduduk, atau kami membantu pengetikan surat-surat.
“Sis, tolong lanjutkan pengetikan surat ini ya, aku mau ke toilet dulu soalnya aku sakit perut takut kelamaan dan 1 jam lagi harus diserahkan ke kepala desa ya sis”. Kata  amelia sambil memegang perutnya kesakitan.
“Iya...kau ini ada-ada saja , habis makan apa tadi pagi mel?”
“Ya sudah nanti aku jelasinnya aku sudah tidak kuat lagi !“ teriak amel sambil lari
“Iya” jawabku sambil tertawa kecil
Amelia lari terbirit-birit, dan aku pun bergegas kemeja tempat pengetikan amel, tiba-tiba ada seorang pemuda menghampiri meja , dia meminta bantuan saya untuk memanggilkan staf desa, dan kebetulan saya di amanahkan oleh staf desa untuk melayani warga yang akan membuat KTP.
“Ada yang bisa saya dibantu pak ?” sapa ramahku
“Memangnya saya sudah kelihatan bapak-bapak  de?”, jawab laki-laki itu sinis
“Oh iya.. maksudnya mang, kang, ka, atau...?tiba-tiba laki-laki itu menyanggahnya, “Saya masih muda, ini awal pertama saya membuat KTP. Petugasnya dimana ya de?”
“Saya sendiri !”
Lelaki itu malah tidak percaya, tapi setelah aku menjelaskan bahwa aku hanya ditugaskan disini beberapa hari saja, dan saya adalah pelajar yang sekarang sedang menjalani tugas dimasyarakat, baru dia percaya dan menuliskan identitasnya dikertas yang telah disediakan sebelumnya.
*

Hasanudin, ternyata namanya terlihat menarik seperti wajahnya. dia seumuran  dengan aku, tapi gayanya itu lho yang tidak suka, sombong dan dia termasuk orang yang anti wanita.itu juga informasi dari gadis-gadis di kampung ini, dia orang alim dan tak  pernah ketingglan sholat berjama’ah di mesjid, kalau dia sedang sakit juga selalu menyempat untuk sholat di mesjid.
” Alim sekali dia”, gumamku dalam hati. Tak lama kemudian Amel datang.
“Ra..kau meninggalkan aku di desa?” kata amel sedikit kesal
“maaf, aku lupa mel” nadaku dengan suara memelas.
Dua minggu kemudian. Pengabdian pun selesai dan kami pun bergegas membereskan pakaian untuk pulang.
“Akhirnya pengabdianpun selesai rasanya malas sekali untuk meninggalkan kampung ini, karena terlalu banyak yang ku tinggalakan, termasuk hasanudin”. Gumanmku sambil senyum kecil.
“Kenapa sis, kau senyum-senyum sendiri, kau sedih karena mau meninggalakan hassanudin bukan?”. Ejek dela dan Sorak semuanya tertawa.
“Ah,kau malu-maluin aku saja”. Sahutku malu-malu.
Pengabdian yang mempertemukanku dengan hasanudin, dan pengambdian pula yang memisahkan aku dengan hasnudin. Hingga kemudian masa putih abu akan segera berakhir, aku memutuskan untuk kuliah di salah satu Universitas Negeri di bandung, dengan mengikuti jalur mandiri. Hal yang tak pernah aku duga ternyata ketika  aku mengitkuti jalur tes mandiri, sepertinya aku melihat hasanudin.  Aku semakin penasaran hingga saat ini karena Hasanudin tertinggal tanpa cerita.


Cerpen 3


Teguran dalam Mimpi
oleh : Siti Halimah

Inilah pagi-Nya. pagi yang selalu menyibukkan kesenjangan untuk bertemu embun dalam kehidupan. Rangkaian rona mengalir hingga saatnya aku untuk menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat ke kampus.
Jarum jam menunjukan pukul 07.00 pagi, saatnya berangkat ke kampus. Tapi beda dengan hari itu. Perkerjaan rumah terlalu banyak sehingga aku merasa bahwa aku tidak akan tepat waktu sampai kampus. Bapak tidak bisa mengantarkanku hingga aku terpaksa naik angkot dengan waktu yang lama.
Tapi aku ragu untuk berangkat karena takut terlambat.
Aku berjalan keunjung desa jalan raya. Tak ada kendaraan yang lewat. Waktu tak pernah menunggu. dan waktu terus mengejarku. Lambai demi lambai tersirat rona yang merekam di pagi yang cerah ini, di pagi yang memunculkan kegelisahan dihati, muka muka tubuh ini. Aku adalah orang yang paling takut jika waktu meninggalkan aku, jadi aku tidak ingin ketinggalan satu menitpun untuk langkahku. Lebih baik datang lebih awal selama 3 jam dari pada harus terlambat selam 1 menit. Dan hari ini aku mematahkan waktu itu. Sepertinya aku akan terlambat beberapa menit.
Seperti suara mobil yang melaju. Aku melambaikan tangan. biarlah mobil, mobil sayuran yang penting keterlambatanku tidak membebani pelajaran di kampus kelak.
Sesaat setelah aku melambaikan tangan dan mobil itu berhenti. Tiba-tiba temanku menghalangiku untuk ikut dengan mobil itu. Ia menarik tanganku hingga seorang lelaki yang berada di mobil tersebut dengan segera keluar, dan menghampiri kami. Kami ditarik paksa oleh lelaki yang tak kami kenal itu. kami berusaha untuk lari tapi apa daya hingga akhirnya kami pun tertangkap oleh lelaki tersebut.
Ketika kami mencoba menghindar lagi  dan terus lari lagi. Datanglah seorang lelaki lagi yang berusaha mengejar kami hingga sampailah kami disebuah pesta pernikahan seseorang yang tak kami kenal. Dan aku juga tak tahu aku sedang dimana. Kami mencoba masuk dalam acara tersebut. Dan lagi-lagi kami pun tertangkap. Dan entahlah kami berada dalam dunia apa. Ketika kami ditangkap tak ada seorang pun yang menolang kami. Ketakutanku semakin meluas tapi yang ada di otak adalah ketakutanku terlambat masuk kampus.
Kami tertangkap lagi.
Sebuah gudang yang amat menyeramkan, terdengar suara api yang menghatam seorang manusia. Jeritan dan tangisan pun terdengar jelas saat mereka hendak membawa kami ke dalam.
Seperti di dalam neraka. Ah, aku berpikir bodoh dalam mimpi saat itu. Tak mungkin aku berada di neraka, karena aku merasa belum bertemu ajalku.
Lelaki itu menyimpanku disebuah jeruji besi. Di sekelilingku terlihat berbagai percikan apai yang sangat menggeru dan menakutkan. Mau dibawa kemana temanku itu, apa yang akan mereka lakukan terhadapnya. Ia di bawa ke atas dan menjatuhkannya ke antara batu bara yang di panaskan. Apakah aku sedang mimpi. Ah, aku tak mau bermimpi ini. Keluarkan aku dari mimpi ini.
Kenapa aku mimpi seperti ini. Dalam mimpi itu aku kembali memotret hal yang pernah kulakukan dimalam hari sebelum aku tidur. aku belum sholat isya dan aku pun terbangun.
“Ternyata aku hanya mimpi.” Pekikku dalam hati sembari membuka selimut.
Aku sedang sakit. Sebelum tidur aku belum sholat isya. Aku tertidur pulas.
Tiba-tiba ibu datang. “Mengapa kamu bangun nak”.
Aku  masih terinngat mimpi tadi sehingga pertanyaan ibu seolah tak terdengar. Keluar keringat dari segala arah dari tubuhku aku terlihat pucat.
“kenapa nak, kamu bermimpi lagi”
Aku menghela nafas sejenak. “ Iya Bu, menakutkan sekali”
Aku sering mimpi seprti ini dan ini adalh mimpiku yang ketiga.
“Cobalah sebelum tidur kamu sholat isya terlebih dahulu jangan langsung tidur atau kamu bisa wudhu terlebih dahulu, agar hati kita senantiasa damai. Janagn lupa berdo’a sebelum tidur.” Ujar Ibu sambil merangkulku.
Aku benar-benar belum bisa berkata apa-apa. Mungkin ketakutanku terhadap waktu membuatku bermimpi dalam keterlambatan, dan kelalaianku terhadap apa yang harus aku kerjakan memberikan aku sebuah makna akan hal itu. Kepalaku pusing dan waktu menunjukan jam 03.00 pagi.
“Ya sudah nak, Ibu  mau sholat malam terlebih dahulu. Ambillah wudhu, kita sholat malam berjama’ah” Ujar ibu sambil meninggalkanku.
Malam itu aku sholat berjama’ah bersama Ibu. Mimpi seolah teguran yang nyata. Teguran yang membuatku berdalih kata agar waktu itu kuhadapi bukan untuk ditakuti.
Pagi ini aku awali dari mimpi.


Catatan

Kerangka Tersekap Toples


Tak akan pernah kualihkan bahwa cinta dalam diam itu memang sangat melelahkan. Lelah kerena menunggu yang tak mungkin ada.  Dan aku tetap akan mencintaimu dalam diam selama tidak ada yang mengahapus cintaku dalam diam--selama itu aku akan tetap bertahan. Meski nanti-- jika aku tidak kagum lagi padamu maka aku akan mengabadikanmu dengan aksaraku nanti.
            Seolah tamparan—bagi kata yang sempat kuungkap untuk tidak jatuh cinta terlebih dahulu.  Ah, aku memang sedang tidak ingin jatuh cinta. Kau mulai hadir, kau hadir tak pernah kuundang bahkan aku tak akan mengundangmu untuk hadir dihatiku karena cukup bagiku untuk mencintaimu dalam diam karena-Nya.
Kau tahu ... sekejap aku ingin menyandarkan lelah ini dibahumu. Dan membisikkan aurora kata ini untukmu,” Aku tak akan pernah lelah, lelah menyayangimu meski dalam diam”.
            Seperti kisah cinta sucinya Saidatina Fatimah dan Saidina Ali—yang akhirnya Allah pertemukan jua.  Ah, mungkin aku terlalu berlebih mencintainya.
Tapi ia benar-benar membiarkan hati ini untuk berteduh ditoples hingga pada akhirnya aku menunggu Allah jua untuk pertemukan aku dengannya.
            Hanya do’a yang mengantarkan percakapan aku dengannya, meski ia tak mendengar—tapi keyakinanku tetap tak akan lelah untuk terus mengeksekusikan cinta ini lewat do’a.  Jika kau merasa dan yakin dengan cinta yang kusembunyikan dalam diam di dalam toples ini untukmu. Percayalah namamu akan terukir abadi dalam hati—dalam aksara—dan dalam keabadian. 
Coba lihat aku yang tak akan pernah lelah mengukir namamu dihatiku—tak akan pernah berujung pada satu ukiran meski kau tak pernah tahu akan hal itu.


Top of Form
Sebab, Kini aku mulai terbuka untuk belajar. Belajar mencintaimu dalam aksaraku. Untuk melengkapa kerangkaku yang muali usang. Dan lagi-lagi kini kerangka ini mulai usang.









Mencintaimu, Kini  mulai terselip pada buku—cinta tersekap tolpes itu kini kuselipkan pada buku. Apakah kau tahu itu?. Cinta itu sudah kuselipkan dalam buku. Bukumu, bukunya, buku kalian dan buku mereka.  Dan ia tidak akan menjadi cinta dalam diamku lagi. Ah, ingin kualihkan saja semua cintaku ini untuk para tukang kebunku.

“Kau tidak lelah?”

“Bukannya aku  sudah bicara pada toples pertamaku— aku sangat lelah jika harus mencinta seperti ini. Diam dan tak ada paruh yang bisa kuagungkan pada catatanku”

“Lantas apa yang kau tunggu—apakah kau akan kuat dengan kelelahan yang kau buat?”

“Akan kucoba. Sebab, Aku sedang menunggu Tuhan memberikan aku koma... “

“Koma apa yang kau tunggu?”

“Koma untuk mengesekusi cinta dalam diam ini.”

“Kau tidak yakin dengan cinta yang kau miliki?”

“Tidak. Sebab, dengan ketidak-yakinanku inilah—aku akan menyimpannya dalam diam”  

“Sudahlah kau percaya saja pada cintamu yang mulai tumbuh ini meski dalam diam?”

“Tidak.  Aku akan tetap menunggu titik Tuhan”

“Koma-Nya?”

“Aku juga menunggu koma-Nya untuk saat ini. agar sejenak aku tidak mencintanya. Maka dari itu  Bantu aku berdoa.”

“Sudahlah jangan menunggu Tuhan untuk mengeksekusi cintamu dengan koma-Nya  dan titik-Nya. Eksekusi saja olehmu”

“Tetap tidak. Aku masih menunggu Tuhan. Dan aku akan tetap menunggu-Nya untuk mengeksekusi takdir-Nya. Biarlah cinta ini tetap dalam diam meski aku mulai sangat lelah.”

“Sudahlah, terserahmu. Sebab, aku heran. Mungkin heranku akan hilang setelah aku menemukan sebabmu mencintainya dalam diam. Sebab yang kutahu karena Tuhan, dan kau belum menceritakan sebab lain....”

Ia pun pergi  menghilang—bersamaan dengan aku pergi dari tempat duduk bercerminku.

...

 Cianjur, 16 Agustus  2013 18:58






















Top of Form
Cinta Tersekap Toples

Sajak sebelum tidur

Titik                                                                                                                         
  ;Fatimah dan Ali Bin Abi Talib

Dengan kesederhanaan ialah sarat yang ringan untuk kuberiathu padamu—
Nanti  

Adalah keikhlasan yang aku janjikan untuk mengikut
kisah Fatimah dan Ali Bin Abi Talib yang diingini.

...

Ketika aku memberitahumu “Cinta dalam diam ini untukmu”.
Kau tahu apa yang aku takutkan?
“Aku takut, Tuhan kurangkan rasa ini padamu”

Meski aku sempat beraksara pada kertas—meski aku tak mengagumimu lagi.
"Aku akan tetap mencintamu dalam diam tanpa lelah”


Cianjur, 16 Agustus  2013 00:45












Cinta Tersekap Toples


Detik Menuju Toples 4... 
;aku masih saja memikirkannya

Kemarin ... Ia yang mulai bernama membuatku tak bisa bercerita—bercerita tentang apa yang telah kubaca. Bahkan semua ceritaku melayang ketika ia mulai bertanya. Ah,  sebab itu aku tak mau ia tahu tentang rasa ini—sebab ada ketakutan ketika aku tak bisa bercerita padanya. Dan aku pura-pura bodoh tak bisa bicara.  

“Apa yang menarik dari daun itu?”tanyanya ketika itu.

Dan aku tak menjawab apa-apa. Diam dan aku hanya bisa diam dibalik pertanyaannya. Meski sebelumnya aku tahu tentang kehidupan daun itu--bahkan aku selalu berdalih dari pertanyaannya. Tapi entahlah... cinta dalam diamku ini benar-benar membuatku diam tak bernama—tanpa kata, menghadirkan anomalia rasa.  

Sudahlah... aku sudah lelah. Ya ... aku lelah pura-pura bodoh dihadapanmu.


Cianjur, 17 agustus 2013, 07:24














Cinta Tersekap Toples

Toples 4. 


Ia pun datang. Dan duduk kembali di tempat aku bercermin.

“Dari mana kau?”

“Kerangkaku—sepertinya sedang sakit,  tadi malam aku menengoknya—hingga  aku tidak bisa tidur, kau tahu itu?”

“Tidak.  Aku tidak tahu itu. Kau tak bilang hal itu padaku. Sebab, yang kutahu kau sedang jatuh cinta”

“Tidak.  Aku tidak jatuh cinta. Dari mana kau tahu aku jatuh cinta?”

“Terus cinta dalam diammu itu?”

“Entahlah... ia akan tetap menjadi cinta dalam diamku—terlebih saat ini aku sedang fokus dengan kerangkaku yang sudah mulai usang dan aksaraku yang tak tahu bagaimana kelanjutannya nanti.”

“Kau itu memang keras kepala.  Apa susahnya kau bilang jatuh cinta saja. Kau selalu seperti ini. selalu membalikkan perbincangan kita pada aksaramu.  Apakah kau tak ingin memiliki seseorang yang peduli dengan hidupmu”

“Sudah kubilang dari kemarin juga, dan sudah lama pula kuulangi dalam seluruh catatanku. Cukup ibu dan bapakku, dan cukup keluargaku—cinta mereka dan kalian untuk saat ini yang cukup kumiliki. Kau mengerti itu?”

“Ya,  aku mengerti tapi...”

“Sudahlah jangan mengulang perbincangan kita yang dulu itu,”

“Terus apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Menulis, menulis dan menulis. Membaca, membaca dan membaca”

“Tak inginkah kau selipkan dengan cinta?”

“Sudahlah ...  jangan bilang cinta dihadapanku”

“Kau memang selalu seperti itu. Kau tak bisa menolak cinta yang datang tiba-tiba, kawan”

“Aku sedang berusaha menolaknya. maka dari itu,  kumohon dukung aku untuk menolaknya—bukan mendukung aku semakin mencintainya”

Lagi-lagi ia menghilang bersamaan dengan aku beranjak dari tempat duduk bercerminku.  Ah, rasanya aku muak sekali jika berbicara dengannya. Ia selalu bertentangan dengan apa yang aku inginkan. Tapi...


Cianjur, 17 Agustuds 2013. 16:06




















Cinta Tersekap Toples

Lamunan sebelum tidur...

Nama Cinta dalam Diam
;Zafran

kini kau kuberi nama Zafran. Ya ... Zafran,
sebab ketika aku melihat Zafran yang terlintas adalah kau yang kucintai dalam diam.

Aku mencoba menerka wajahmu;
   Zafran
dan aku mengingat cinta dalam diamku
Ketika melihat sosok Zafran maka yang terlitas adalah kau
kau yang menjadi cinta dalam diamku ini.

Zafran yang puitis, sedikit "gila", apa adanya, idealis, sedikit narsis,
dan memiliki bakat untuk menjadi orang terkenal.
Itulah sosoknya yang ada dalam film 5cm ...

Ya, kau tahu dari siapa aku menemukan sosok Zafran itu?
Darimu  yang tetap kucintai dalam diam.


...

Cianju, 18 Agustus 2013. 00: 35










Cinta Tersekap Toples

Cerita Kopi (Moccacino)...


“Tidak, aku tidak mengingat cinta dalam diam itu dalam kopi ini,” kataku sembari menatap secangir kopi moccacino di ujung  mulutku—hampir saja aku meneguknya.

“Terus, kenapa kau diam menatapku? ”

“Ia ... “jawabku pelan

“Ia, Siapa?”

“Cinta dalam diamku...”jawabku lirih

“Kau ini bagaimana, Katanya tidak mengingatnnya,”

“Tapi ia selalu hadir dalam setiap aku melihat bayangan dan Ketika aku menikmati kesederhanaan dalam kopi yang akan aku minum ini—hingga bertemu titik pahit terdalam”

“Dan dari sanalah kau akan menemukan anomalia rasa yang sesungguhnya,”

“Dari mana?”tanyaku penasaran

“Dari kopi yang akan kau minum sekarang—dari pahit terdalam yang nanti akan kau temukan dalam kopi ini... “


Rasa penasaran melandaku saat ini. Saat kopi ini berada di ujung mulutku. Dan ia pun menghilang bersamaan dengan aku meneguk secangkir kopi ini hingga habis—hingga menemukan pahit terdalam.


Cianjur, 18 Agustus 2013 . 08:45

Cinta Tersekap Toples

Detik-detik Menutup Toles...

Entahlah aku benar-benar tak mengerti dengan cinta yang aku anggap cinta dalam diam ini.  Yang jelas aku sudah mulai lelah dan akan membiarkannya tanpa cerita.

Didekatnya aku biasa. Tak ada yang berbeda. Tapi aku benar-benar tak mengerti kenapa aku membiarkan ia  membentuk cinta dalam diamku ini.
Apakah aku sedang bereksperimen dengan bercerita tentang cinta?entahlah aku  benar-benar bingung—hingga saat ini aku tak menemukan jawaban itu—mengapa aku menulis Cinta Tersekap Toples ini? aku pun tidak tahu alasan yang menyakinkanku.  Kenapa seperti itu.

Saat ini  aku memutuskan untuk menutup toplesku dan menjadikannya toples terakhirku—malam ini. Toples tentang cinta dalam diamku ini. sepertinya tidak penting sekali jika aku harus memikirkanmu. Ya, memikirkan cinta dalam diamku ini. tapi aku juga harus banyak terima kasih padamu.  Sebab, kau membiarkanku untuk menulis tentangmu. Dan sekarang aku akan kembali pada kerangkaku yang mulai usang. kerangkaku yang tak pernah menyakitiku.
Aku memang tak menampik. Aku takut—takut sakit, ya... sakit saat cintamu tak berpihak padaku. Maka dari itu terbanglah, dan biarkan aku bicara lagi dengan kerangkaku. 

Beberapa hari ini kau membuatku gila, bahkan sangat gila. Ketika aku minum kopi saja—aku bicara sendiri, bercermin saja aku bicara sendiri, akan mengambil air wudhu saja aku bicara sendiri.  Dan yang paling membuatku bodoh adalah ketika aku meladeni orang yang sudah jelas yaitu  adalah diriku sendiri. Ya... aku berbicara dengan bayanganku sendiri, dan dijawab sendiri olehku. Aku memang sudah gila.  

Hanya untuk sebuah cerita saja aku harus terjerumus hingga sejauh ini. Dan sebab ini pula aku ingin menghentikan cerita toplesku ini, sebelum aku benar-benar mencintainya. Ah, mungkinkah aku takut mencintainya? Yang pasti sudah cukup sampai sini. Dan aku ingin kembali pada kerangkaku saja.   


...

Cianjur, 18 Agustus 2013. 18:45














Cinta Tersekap Toples
Sore tadi aku pulang dari Muker LDK BKIM, dan aku pun bergegas mengambil air wudhu untuk sholat magrib.
“Hai, kita ketemu lagi.”
“ah, kau ini selalu datang dimana saja. Tanpa ku panggil . aku sedang lelah, jangan datang sekarang”
“lelah kenapa?”
“kau tahu dari tadi pagi aku muker dan pulangnya langsung ke sekolahan diniyah  tanpa pulang dulu ke rumah, dan sekarang aku sedang merehatkan sejenak dari seluruh aktivitasku di air ini”
“ya sudah kau tidur saja. “
“aku tak bisa tidur. Kau tahu setelah aku dari sini aku kemana?ke tempat pengajian untuk ikut diskusi nahwu sharaf. Dan aku tak bisa izin lagi”
“Cinta dalam diammu”
“Sudahlah.... jangan bicara lagi cinta dalam diam itu. sekarang aku sedag dilanda ke khawatiran bagi anak-anak didikku nanti—dan nanti aku pasti banyak kegiatan yang bakal banyak meninggalakan mereka, dan aku juga masih berat meninggalkan teman-teman diskusi nahwu sharafku itu.—beri aku masukan?”
“kan kau sudah mengambil keputusan untuk meninggalakan teman diskusi nahwu saharafmu selama satu tahun dan anak-anak itu kan sudah kau titipkan”
“tapi tetap saja aku merasa tak tega meninggalkan mereka—mereka itu adalah yang membiarkan aku untuk berbagi”
“terus apa maumu sekarang ini?”
“aku mau mengerjakan semuanya—aku ingin tetap bersama anak-anak itu, dan teman-teman diskusi malamku. Teman diskusi nahwu sharafku, dan aku juga ingin mengikuti kegiatan yang aku putuskan dengan penuh tanggung jawab. Entahlah yang pasti aku sedang bingung,”ucapku sembari  membasuh muka.
Ia sedikit tak nampak dalam penglihatanku. Aku diam sejenak.
“kau harus memilih”
“ya... aku tahu itu. tapi aku tak bisa memilih untuk saat ini”
“tapi kau harus memilih”
Aku wudhu dan ia pun menghilang bersamaan dengan itu.

Ketika aku hendak berangkat ke tempat diskusi—dimana temapat ini adalah rumah guru spritualku. Kami sering berdiskusi tentang nahwu dan shraf. Setipa malam—hingga jam 22.00 wib—aku baru pulang kerumah.
Aku duduk terlebih dahulu di depan cermin.
“hai kau mau kemana?”
“aku mau ke rumah pak ustad—mau  diskusi”
“istirahatlah,tadi  kau bialng bahwa kau lelah dengan kegiatanmu dari pagi tadi hingga sore”
“tidak aku harus tetap pergi”
“terus, kapan kau akn melanjutkan cinta dalam diammu lagi”
“gak, cinta dalam diamku ini akan ku tutup saja”
“kenapa?”
“Sebab, aku benar-benar tak mengerti dengan cinta ini”
“kenapa?”
“banyak hal yang harus aku pikirkan, bahkan banyak hal yng haru aku selesaikan—dan aku pun sudah curiga dengan salah satu tukang kebunku bahwa cinta diam ini untuk dia—sedangkan yang ku maksud ini bukan ia—aku sudah menganggap tukang kebunku ini adalah keluargaku dan aku tak ingin ada salah paham dengan cinta dalam toplesku yang sudah kebuat beberapa hari kemarin—aku tak ingin ia berubah hanya gara-gara cerita toples yang aku buat. Aku sudah nyaman diskusi dengannya—tapi entahlah aku merasa ia berbeda setelah aku menulis cerita toples ini. cerita toplesku bukan untuknya dan aku hanya berimajinasi saja—tidak lebih”
“terus apa yang akan kau lakukan saat ini?”
“entahalah aku bingunng”
Aku pun pergi dan melempar cermin itu dengan ponsel. Hingga cermin itu pecah dan ia hilang.





























Pecah, dan tak ada lagi catatan

Beberapa hari ini, ketika aku ingin menutup toples yang kutulis ini—setelah aku menemukan kesalahpahaman. Setelah aku mencoba membaca wajahmu—sebelum toples cinta ini akan kututup. Tadi magrib, Toples itu terjatuh dan pecah terkena tembok aksaraku. Ketika itu—ketika aku mempertahankannya untuk tetap menjadi utuh dan aku mencoba merangkainya lagi,  tapi sepertinya tidak bisa. Aku lelah dan aku tak bisa—apalagi ketika aku melihat matamu yang tidak biasa kulihat sebagaimana mestinya. Mata yang menjaga jarak denganku.
Ah, aku ingin kau biasa saja—biasa seperti sebelum aku menulis catatan toplesku ini. Kau  yang aku banggakan seperti kakakku, seperti motivatorku, ya... salah satu tukang kebun aksaraku. Tapi entahlah, kini  kau berbeda dan membikin aku ingin menarik ulur rasa kagumku padamu. Yang pasti aku tetap memberikan perasaan yang sama kepada semua tukang kebun aksaraku—sama seperti aku memberikan rasa kepada kakak-kakaku, pun keluargaku.
Anomalia rasa telah menunjukkannya padaku bahwa Allah Maha pembolak-balik hati manusia. Pun seperti halnya aku yang ada pada malam ini—aku yang menatap bulan purnama malam ini—aku yang mengartikan cinta dalam diamku ini sebagai rasa kagum yang tak berlebih. Seperti aku mengagumi para tukang kebun aksaraku itu.
Dan kau ... Sungguh, sedikitpun rasa kagum ini mulai mengikis—dan rasa kagum ini semakin tipis. Entah karena apa?
Tak pantas jika kuulur lagi. Sepertinya Zafran itu bukan kau, bukan kau yang selama ini aku sangka-sangka. Entahlah apa yang sedang kuterka ini. Pun setelah aku menemukan kenyamanan berdiskusi denganmu—sekarang  mulai luntur.
Oh, Allah beri aku habituasi hangat untuk mengolah rasa. Dan maaf jika aku harus berubah..., aku tidak bisa jika harus  menerka rasa orang yang belum tentu mengenalku—sebab kagumku dan sebab anomali rasaku. Ketika aku mengenalnya—maka aku siap mencintainya. Mencintainya seperti mencintai semua para tukang kebun aksaraku—mencintainya seperti mencintai keluargaku.       


Catatan Facebook terakhir, 21 agustus 2013. 23:01



Pecah


Pecah, dan tak akan ada lagi catatan cinta  dalam diam.  

Beberapa hari yang lalu, ketika aku ingin menutup toples yang kutulis minggu-minggu ini ini—setelah aku menemukan kesalahpahaman. Setelah aku mencoba membaca wajahmu—sebelum toples cinta ini akan kututup.
Tadi magrib, Toples itu terjatuh dan pecah terkena tembok aksaraku. Ketika itu—ketika aku mempertahankannya untuk tetap menjadi utuh dan aku mencoba merangkainya lagi,  tapi sepertinya tidak bisa. Aku lelah dan aku tak bisa—apalagi ketika aku melihat matamu yang tidak biasa kulihat sebagaimana mestinya. Mata yang menjaga jarak denganku.

Ah, aku ingin kau biasa saja—biasa seperti sebelum aku menulis catatan toplesku ini. Kau  yang aku banggakan seperti kakakku, seperti motivatorku, ya... salah satu tukang kebun aksaraku. Tapi entahlah, kini  kau berbeda dan membikin aku ingin menarik ulur rasa kagumku padamu. Yang pasti aku tetap memberikan perasaan yang sama kepada semua tukang kebun aksaraku—sama seperti aku memberikan rasa kepada kakak-kakaku, pun keluargaku.

Anomalia rasa telah menunjukkannya padaku bahwa allah Maha pembolak-balik hati manusia. Pun seperti halnya aku yang ada pada malam ini—aku yang menatap bulan purnama malam ini—aku yang mengartikan cinta dalam diamku ini sebagai rasa kagum yang tak berlebih. Ya ... Seperti aku mengagumi para tukang kebun aksaraku.

Dan kau ... Sungguh, sedikitpun rasa kagum ini mulai mengikis—dan rasa kagum ini semakin tipis. Entah karena apa?

Tak pantas jika kuulur lagi. Sepertinya Zafran itu bukan kau, bukan kau yang selama ini aku sangka-sangka. Entahlah, apakah aku sedang bermain peran dengan catatanku? apa yang sedang kuterka ini, Pun setelah aku menemukan kenyamanan berdiskusi denganmu—sekarang mulai luntur. 

Oh, Allah beri aku habituasi hangat untuk mengolah rasa. Dan maaf jika aku harus berubah..., aku tidak bisa jika harus  menerka perasaan orang yang belum tentu mengenalku—sebab kagumku dan sebab anomali rasaku. Ketika aku mengenal—maka aku siap mencintai pun menyayangi.

"Mencintainya seperti mencintai semua para tukang kebun aksaraku—tak ada yang kubeda-bedakan. mencintainya seperti mencintai  keluargaku. Dan anomalia rasa ini bukan untukmu,"ucapku sembari menutup buku catatann terakhirku.     


Catatan Facebook terakhir, 21 agustus 2013. 23:01


















Bottom of Form




BERBAHASA SEJAK LAHIR

  BERBAHASA SEJAK LAHIR :Siti Halimah   “Terdapat banyak bukti bahwa manusia memiliki warisan biologi yang sudah ada sejak lahir berup...