Cerpen 1
Misteri
Ayam Balkon
“Bangun
Nak, sudah subuh cepat ambil wudhu dan sholatlah!”. Sapa ibu sambil memegang
badanku.
“iya,
Bu”. Sahutku lemas
Hari
semakin siang, dan hari ini ayam lebih awal bangun dariku. Tapi tak
apa, karena ayam baru mengalahkanku pagi
ini saja. Ketika aku beranjak ke kamar
mandi untuk mengambil air wudhu, ayam menunggu. Entahlah...apa yang ayam itu
tunggu, tapi ayam itu terlihat kedinginan. Dia hanya diam diam dan diam tanpa
bersuara. Apa ayam itu sedang memikirkan sebuah masalah atau kedinginan? tapi,jika pun kedinginan dia pasti menyembunnyikan
sayapnya dan jongkok tanpa bergerak, tapi ayam ini berbeda, dia berdiri,
menoleh ke kanan, ke kiri kedepan, ke belakang, dan terus saja seperti itu. Ayam itu seperti satpam yang menunggu
kamar mandi. Berhubung Kamar mandi di rumahku menyatu dengan alam jadi ayam
selalu berdiri di atas balkon kamar mandi.
Hingga
hari berikutnya aku bangun dengan tergesa-gesa dan saat itu adzan subuh juga
belum, tapi aku ingin bangun lebih awal dari pada ayam.
“Tumben
Nak sudah bangun?”tanya ibu heran.
“iya
dong bu”. Jawabku singkat.
“Ah,
biasanya kau bangun setelah adzan subuh, bahkan 30 menit setelah adzan subuh
kamu baru mengambil wudhu”. Kata Ibu mengejek
“hehe...Ibu,
memangnya kalau aku bangun sebelum ayam berkokok gak boleh ya...?” jawabku
memelas menuju kamar mandi.
Ibu
langsung beranjak kedapur, seperti biasa ibu selalu masak pagi-pagi karena aku dan adik selalu berangkat
kesekolah pagi.
Ketika
aku mau mandi, lagi-lagi ayam itu berdiri diatas balkon, dan entah apa yang dia
lakukan yang pasti kegiatannya tak jauh berbeda dari hari sebelumnya yaitu
berdiri, menoleh kekanan, menoleh ke kiri, dan menoleh kedepan serta
kebelakang.
Aku
memperhatikan ayam itu, terus memperhatikannya hingga matahari mulai mengintip,
aku sengaja mandi lama agar aku tahu apa yang dilakukan ayam itu setelah siang
menjelang, dan kapan dia beranjak dari balkon. Namun seeusai mandi ayam dia
tidak pergi juga dan ketika mau berangkat sekolah pun ayam itu masih juga belum
beranjak.
“Ayam
itu selalu membuat aku penasaran?”gumamku sembari bergegas kesekolah.
Ketika
di jalan aku menceritakan pada temanku yang bernama Aas , bahwasannya aku
mempunyai ayam yang selalu diam diatas balkon. Tapi dia hanya senyum-senyum
saja dan dia mengatakan aku terlalu berlebihan, ayam saja diperhatikan. Dia
tidak tahu bahwa ayam itu benar-benar aneh, aku merasa ada yang ayam sembunyikan.
Tapi temanku kukuh dengan ketidak percayaannya terhadapku.
“Kau
ini bagaimana sih, masa ayam kau anggap detektif?”.Ejek Aas sembari tertawa.
Setiap aku cerita ayam itu kepada Aas, dia selalu mentertawakan aku, dan hanya
mengatakan bahwa aku terlalu banyak berhayal.
*
Waktu
tak pernah berhenti dan selalu berputar meski sejenak bernafas dengan rasa
kepenasaranku yang semakin meningkat. Ketika malam tiba aku mencoba melihat
aktivitas ayam itu,dan ternyata jam 19.00 wib, ayam itu belum terlihat diatas
balkon.
“Jam
berapa ayam itu naik ke atas balkon, kenapa jam segini belum ada?”gumamku dalam
hati.
Aku
kembali ke kamar dengan rasa penasaran yang enggan pergi setelah ayam itu hadir
diatas balkon. Aku tidak bisa tidur malam itu, rasa penasaran itu semakin
besar. Jarum jam menunjuk ke arah angka sembilan, waktunya untuk tidur.
Tiba-tiba aku mendengar suara ayam berkokok.
“Sepertinya
itu ayam yang selalu ada dibalkon”. Aku bergegas kekamar mandi untuk memastikan
apakah itu benar ayam yang selalu ada di balkon. Dan ternyata itu memang
benar-benar ayam yang selalu ada dibalkon.
“Ternyata,
ayam itu selalu naik keatas balkon sekitar jam sembilan malam”.gumamku dalam
hati.
Sedang
apa ayam itu, tapi sepertinya dia mau tidur. Terlihat matanya mulai menutup,
dan sayapnya mulai ditutup, ayam itu hendak duduk.
“Ayam
itu hanya numpang tidur, dan mungkin dia hanya kesepian saja tidak punya teman
untuk berdiskusi jadi dia memilih di balkon agar suara air menemani
kesepiannya”. Pikirku sembari memperhatikannya. Hari semakin malam aku bergegas
ketempat tidur untuk beristirahat.
**
Tak
terasa malam cepat berlalu. Seperti hari-hari sebelumnya sesudah bangun aku
hendak kekamar mandi, dan terlihat ayam itu sudah bangun. Tak lama kemudian ada
kucing yang menghampiri ayam itu, kucing diam disampingnya.
Sepertinya
terjadi percakapan diantara mereka, namun aku tak tahu secara pasti percakapan
apa yang mereka bicarakan. Timbul dalam banyangaku percakapan ayam dan kucing.
“Hai
ayam, apa yang kau lakukan disini, setiap hari kau selalu ada di balkon ini” .
Tanya seekor kucing dalam bayanganku.
“Hai,
aku hanya butuh teman untuk meramaikan hatiku yang sepi dan aku merasa air ini menemani
kesepianku, makannya aku senang berada diatas balkon kamar mandi ini, terus
sedang apa kamu disini?’. Tanya ayam dan
suaranya semakin keras dalam bayanganku.
“Aku
sedang memperhatikanmu dari kemarin, setiap malam kau dibalkon ini tanpa teman, dan
kau membuat aku penasaran ,Mungkin aku bisa menjadi temanmu?”. Sahut Kucing
dalam bayanganku.
Andai
aku tahu apa yang mereka bicarakan mungkin aku tidak akan berkhayal,
sampai-sampai aku berkhayal terlalu jauh serta mendeskripsikan percakapan kucing
dan ayam, seolah percakapanku dengan ayam. Tapi aku membiarkan mereka diatas
balkon itu.
***
“Aku
pulang....”teriakku sambil membuka pintu. Dari luar sudah harum dengan makanan
kesukaan ipin upin, yaitu ayam goreng.
“Kamu
ini nak, kamu muslim kan, ucapkan salam kalau masuk rumah itu, biasakan nak”.
Sapa ibu lembut
”Iya
bu, Karin lupa.” Celotehku sambil mencium tangan ibu
“Ya
sudah makan dulu, Nak” suruh ibu, sambil menyodorkan sepiring nasi dan Ayam
goreng.
“Wih..asyik
makan dengan ayam goreng, Ibu lagi banyak uang ya, bagi dong”. Ejekku memelas
manja
“Uang
darimana nak, ayahmu kan belum pulang. Ayam ini ayam hitam yang selalu ada
diatas balkon, Tiba-tiba ayam itu mati, ibu juga tidak tahu ayam ini matinya
kenapa.”kata ibu sambil makan
Aku
kaget sampai-sampai aku tidak nafsu makan ketika ibu berkata bahwa ayam yang
selalu ada di atas balkon itu tiba-tiba mati, kenapa dengan ayam itu, dia mati
dan meninggalkan misteri penasaranku terhadapnya.
Pemikiranku
semakin berputar dan semakin berpikir tak karuan. Apakah ayam itu mati karena
penyakitnya?, Apakah yang dia lakukan diatas balkon adalah hari-hari
terakhirnya?, Entahlah...pikiranku semakin ngaco dan tak bisa ku kendalikan.
“Nak,
ayo makan. Kenapa kau bengong seperti itu. “ suruh ibu sambil memegang bahuku.
“Iya
Ibu”. Jawabku kaget.
Sampai
sekarang aku tak bisa memecahkan misteri ayam itu dengan Bukti yang nyata, aku
hanya bisa berkata dengan pikiran dan kejadian yang ada. Semoga kita bisa
bercakap diakherat nanti ayam balkon, aku tidak akan melupakan rasa penasaran
ini terhadapmu. Dan akhirnya balkon itu akan menjadi pemandangan yang kosong
dimataku karena kau telah meniggalkannya.
cerpen 2
cerpen 2
Tertinggal Tanpa
Cerita
Oleh : Siti Halimah
Tatkala
liburan telah tiba dan pengabdian pada masyarakat pun dimulai, kami hanya
dibekali dengan segudang pembekalan untuk bermasyrakat. Dengan membawa berbagai
peralatan yang diperlukan ditempat yang akan kami singgahi selama dua minggu,
minggu siang itu pun kami berangkat.
Di Desa
Darungdung Kecamatan Cikalong kulon , disana kami mulai melaksanakan tugas
akhir tahun dari sekolah, kami terbagi dalam 4 kelompok dan di tempatkan dalam satu desa, dalam tugas itu
kami diberi amanah untuk memasyarakatkan masyarakat dengan kemampuan kami. Dan
tentunya banyak pengabdian yang harus kami lakukan disana seperti membantu
aparat desa, membantu anak-anak Madrasah Diniah dalam belajar, mengikuti
kegiatan dipesantren setempat, dan mengisi waktu luang anak-anak sekolah dasar
selama mereka liburan,serta mengikuti berbagai macam ritual religius yang
dilaksanakan didesa tersebut yaitu pengajian ibu-ibu, rutinan serta kegiatan
lainnya.
“Aduh..dimana
ini, jauh sekali rumah kontrakannya, sudah 2 jam perjalan ini? Keluh Delis yang
mulai kecapean.
“sabar, sebentar lagi kita
sampai, diujung sana sudah kelihatan rumahnya?”tunjuk bu husna sambil mendekati
Delis.
Kami langsung
melanjutkan perjalanan, karena terlihat sore itu juga nampaknya hujan akan
turun. Dengan langkah yang tanpa ragu aku memimpin jalan agar kami cepet
sampai.
“ayo
teman-teman, beberapa langkah lagi kita sampai ke kontrakan itu!” teriakku
semangat.
Rumah yang
akan kami tempati itu sepertinya nyaman untuk ditempati, tapi beberapa meter
sebelum kami sampai ke rumah itu, sepertimya rumah itu sudah di tempati karena
terlihat ibu-ibu sedang mengangkat
jemuran pakaian dan kami pun mendekat.
“apakah ade-ade ini dari pondok pesantren al Miftah
yang akan tingggal di desa kami serta akan
menempati rumah ini?”sapa ibu itu sambil menjemur pakaian.
“iya ibu !”,
jawab heran Ibu Mariam
“maaf Ibu,
kontrakannya sudah dialihkan ke sebrang jalan sana, nanti pemilik kontrakan ini
juga akan kesini, bisa ditunggu sebentar bu”. Kata ibu itu sambil
mempersilahkan kami ke rumah.
Kami pun
terdiam, kami saling lirik satu sama lain, karena tidak ada konfirmasi sebelumnya
sehingga kami pun tidak tahu keadaan
kotrakan kami yang akan kami tinggali saat itu. Kami mencoba untuk
bersikap tenang dan nampak biasa-biasa saja namun sepertinya hal itu sulit
dilakukan oleh nindi, nindi tampak gelisah karena biasanya kalau di oper
kontrakan itu selalu menimbulkan tempat yang tidak layak untuk orang yangg
dioper. Tak lama kemudian Ibu kontrakan
datang.
“Maaf Neng
kontrakannya dipindahkan, mari ikut Ibu”. Ajak Ibu kontrakan sambil jalan.
Entah apa yang
merasuki pikiran kami, tapi tiba-tiba kami pun hanya diam dan mengikuti arah Ibu
kontrakan tersebut melangkah. Hingga kami tiba disebuah kontrakan yang mungkin
tak layak huni untuk jumlah kami, dimana kontarakan itu pun tidak mungkin kami
tempati dengan jumlah kami 10 orang, kontrakan itu sering disebut kost-an yang
mana hanya cukup dihuni oleh satu orang saja.tapi apa boleh buat, ini bukan
waktunya untuk kita mengeluhkan keadaan yang telah mejadi bubur tak
dimasak.
Kami tak mampu
berkata apa-apa, ketika kami beristirahat suasana menjadi menyedihkan ada yang
nangis, ada yang marah-marah dan ada yang hanya diam saja tidak bicara apa-apa.
Protespun kami tak mampu karena tak mungkin kami harus pulang lagi untuk
membatalkan rencana, dan mencari kontrakan lagi !,itu bukan waktu yang tepat serta tidak mudah.
“Sudahlah...kita
harus terima keadaan ini, pasti ada rencana yang indah buat kita, semangat dong
pengabdian kita baru dimulai”. Sentak bu Husna memberi semangat.
Waktu berganti
tapi berbeda dengan kami sepertinya malas sekali untuk melakukan aktivitas
jangankan aktivitas kami juga malas untuk sholat dan makan,tapi beruntung ada
ibu mariam yang sabar dan baik hati, beliau terus memberi kami semangat hingga
kami menyadari bahwa kami tidak boleh seperti ini terus, dan kami harus
bangkit, jangan sampai semuanya terbengka;ai hanya karena kontrakan.
Ini hari ke- 3
pun kami awali dengan senam pagi bersama di lapangan dekat kontrakan.
“Mungkin ini
saatnya untuk kita kembali pada tujuan pertama kita di kampung ini, yaitu
memasyakatkan masyarakat, ayo teman-teman semagat...”. semangat pagi yang
diawali oleh Rara
Kami pun
bergegas ke lapangan dengan agenda senam pagi, setelah senam pagi kami mengurus
pribadi masing-masing, dan membagi tugas yang akan dilakukan di hari ke-tiga itu. Kebetulan hari ke-tiga itu
aku mendapat jadwal untuk mengunjungi desa bersama amelia, disana kami akan membantu aparat desa untuk melakukan
kegiatan mereka sehai-hari, dan di desa juga sedang diadakan pembuatan KTP
masal jadi kami bisa membantu penulisan identitas penduduk, atau kami membantu
pengetikan surat-surat.
“Sis, tolong
lanjutkan pengetikan surat ini ya, aku mau ke toilet dulu soalnya aku sakit perut
takut kelamaan dan 1 jam lagi harus diserahkan ke kepala desa ya sis”. Kata amelia sambil memegang perutnya kesakitan.
“Iya...kau ini
ada-ada saja , habis makan apa tadi pagi mel?”
“Ya sudah
nanti aku jelasinnya aku sudah tidak kuat lagi !“ teriak amel sambil lari
“Iya” jawabku
sambil tertawa kecil
Amelia lari
terbirit-birit, dan aku pun bergegas kemeja tempat pengetikan amel, tiba-tiba
ada seorang pemuda menghampiri meja , dia meminta bantuan saya untuk
memanggilkan staf desa, dan kebetulan saya di amanahkan oleh staf desa untuk
melayani warga yang akan membuat KTP.
“Ada yang bisa
saya dibantu pak ?” sapa ramahku
“Memangnya
saya sudah kelihatan bapak-bapak de?”,
jawab laki-laki itu sinis
“Oh iya..
maksudnya mang, kang, ka, atau...?tiba-tiba laki-laki itu menyanggahnya, “Saya
masih muda, ini awal pertama saya membuat KTP. Petugasnya dimana ya de?”
“Saya sendiri
!”
Lelaki itu
malah tidak percaya, tapi setelah aku menjelaskan bahwa aku hanya ditugaskan
disini beberapa hari saja, dan saya adalah pelajar yang sekarang sedang
menjalani tugas dimasyarakat, baru dia percaya dan menuliskan identitasnya
dikertas yang telah disediakan sebelumnya.
*
Hasanudin,
ternyata namanya terlihat menarik seperti wajahnya. dia seumuran dengan aku, tapi gayanya itu lho yang tidak
suka, sombong dan dia termasuk orang yang anti wanita.itu juga informasi dari
gadis-gadis di kampung ini, dia orang alim dan tak pernah ketingglan sholat berjama’ah di
mesjid, kalau dia sedang sakit juga selalu menyempat untuk sholat di mesjid.
” Alim sekali
dia”, gumamku dalam hati. Tak lama kemudian Amel datang.
“Ra..kau
meninggalkan aku di desa?” kata amel sedikit kesal
“maaf, aku
lupa mel” nadaku dengan suara memelas.
Dua minggu
kemudian. Pengabdian pun selesai dan kami pun bergegas membereskan pakaian
untuk pulang.
“Akhirnya
pengabdianpun selesai rasanya malas sekali untuk meninggalkan kampung ini,
karena terlalu banyak yang ku tinggalakan, termasuk hasanudin”. Gumanmku sambil
senyum kecil.
“Kenapa sis,
kau senyum-senyum sendiri, kau sedih karena mau meninggalakan hassanudin
bukan?”. Ejek dela dan Sorak semuanya tertawa.
“Ah,kau
malu-maluin aku saja”. Sahutku malu-malu.
Pengabdian
yang mempertemukanku dengan hasanudin, dan pengambdian pula yang memisahkan aku
dengan hasnudin. Hingga kemudian masa putih abu akan segera berakhir, aku
memutuskan untuk kuliah di salah satu Universitas Negeri di bandung, dengan
mengikuti jalur mandiri. Hal yang tak pernah aku duga ternyata ketika aku mengitkuti jalur tes mandiri, sepertinya
aku melihat hasanudin. Aku semakin
penasaran hingga saat ini karena Hasanudin tertinggal tanpa cerita.
Cerpen 3
Cerpen 3
Teguran
dalam Mimpi
oleh : Siti Halimah
Inilah
pagi-Nya. pagi yang selalu menyibukkan kesenjangan untuk bertemu embun dalam
kehidupan. Rangkaian rona mengalir hingga saatnya aku untuk menyelesaikan
pekerjaan rumah sebelum berangkat ke kampus.
Jarum
jam menunjukan pukul 07.00 pagi, saatnya berangkat ke kampus. Tapi beda dengan
hari itu. Perkerjaan rumah terlalu banyak sehingga aku merasa bahwa aku tidak
akan tepat waktu sampai kampus. Bapak tidak bisa mengantarkanku hingga aku
terpaksa naik angkot dengan waktu yang lama.
Tapi
aku ragu untuk berangkat karena takut terlambat.
Aku
berjalan keunjung desa jalan raya. Tak ada kendaraan yang lewat. Waktu tak
pernah menunggu. dan waktu terus mengejarku. Lambai demi lambai tersirat rona
yang merekam di pagi yang cerah ini, di pagi yang memunculkan kegelisahan
dihati, muka muka tubuh ini. Aku adalah orang yang paling takut jika waktu
meninggalkan aku, jadi aku tidak ingin ketinggalan satu menitpun untuk langkahku.
Lebih baik datang lebih awal selama 3 jam dari pada harus terlambat selam 1
menit. Dan hari ini aku mematahkan waktu itu. Sepertinya aku akan terlambat
beberapa menit.
Seperti
suara mobil yang melaju. Aku melambaikan tangan. biarlah mobil, mobil sayuran
yang penting keterlambatanku tidak membebani pelajaran di kampus kelak.
Sesaat
setelah aku melambaikan tangan dan mobil itu berhenti. Tiba-tiba temanku
menghalangiku untuk ikut dengan mobil itu. Ia menarik tanganku hingga seorang
lelaki yang berada di mobil tersebut dengan segera keluar, dan menghampiri
kami. Kami ditarik paksa oleh lelaki yang tak kami kenal itu. kami berusaha
untuk lari tapi apa daya hingga akhirnya kami pun tertangkap oleh lelaki tersebut.
Ketika
kami mencoba menghindar lagi dan terus
lari lagi. Datanglah seorang lelaki lagi yang berusaha mengejar kami hingga
sampailah kami disebuah pesta pernikahan seseorang yang tak kami kenal. Dan aku
juga tak tahu aku sedang dimana. Kami mencoba masuk dalam acara tersebut. Dan
lagi-lagi kami pun tertangkap. Dan entahlah kami berada dalam dunia apa. Ketika
kami ditangkap tak ada seorang pun yang menolang kami. Ketakutanku semakin
meluas tapi yang ada di otak adalah ketakutanku terlambat masuk kampus.
Kami
tertangkap lagi.
Sebuah
gudang yang amat menyeramkan, terdengar suara api yang menghatam seorang
manusia. Jeritan dan tangisan pun terdengar jelas saat mereka hendak membawa
kami ke dalam.
Seperti
di dalam neraka. Ah, aku berpikir bodoh dalam mimpi saat itu. Tak mungkin aku berada
di neraka, karena aku merasa belum bertemu ajalku.
Lelaki
itu menyimpanku disebuah jeruji besi. Di sekelilingku terlihat berbagai percikan
apai yang sangat menggeru dan menakutkan. Mau dibawa kemana temanku itu, apa
yang akan mereka lakukan terhadapnya. Ia di bawa ke atas dan menjatuhkannya ke
antara batu bara yang di panaskan. Apakah aku sedang mimpi. Ah, aku tak mau
bermimpi ini. Keluarkan aku dari mimpi ini.
Kenapa
aku mimpi seperti ini. Dalam mimpi itu aku kembali memotret hal yang pernah
kulakukan dimalam hari sebelum aku tidur. aku belum sholat isya dan aku pun
terbangun.
“Ternyata
aku hanya mimpi.” Pekikku dalam hati sembari membuka selimut.
Aku
sedang sakit. Sebelum tidur aku belum sholat isya. Aku tertidur pulas.
Tiba-tiba
ibu datang. “Mengapa kamu bangun nak”.
Aku masih terinngat mimpi tadi sehingga
pertanyaan ibu seolah tak terdengar. Keluar keringat dari segala arah dari
tubuhku aku terlihat pucat.
“kenapa
nak, kamu bermimpi lagi”
Aku
menghela nafas sejenak. “ Iya Bu, menakutkan sekali”
Aku
sering mimpi seprti ini dan ini adalh mimpiku yang ketiga.
“Cobalah
sebelum tidur kamu sholat isya terlebih dahulu jangan langsung tidur atau kamu
bisa wudhu terlebih dahulu, agar hati kita senantiasa damai. Janagn lupa
berdo’a sebelum tidur.” Ujar Ibu sambil merangkulku.
Aku
benar-benar belum bisa berkata apa-apa. Mungkin ketakutanku terhadap waktu
membuatku bermimpi dalam keterlambatan, dan kelalaianku terhadap apa yang harus
aku kerjakan memberikan aku sebuah makna akan hal itu. Kepalaku pusing dan
waktu menunjukan jam 03.00 pagi.
“Ya
sudah nak, Ibu mau sholat malam terlebih
dahulu. Ambillah wudhu, kita sholat malam berjama’ah” Ujar ibu sambil
meninggalkanku.
Malam
itu aku sholat berjama’ah bersama Ibu. Mimpi seolah teguran yang nyata. Teguran
yang membuatku berdalih kata agar waktu itu kuhadapi bukan untuk ditakuti.
Pagi
ini aku awali dari mimpi.