Kerangka Tersekap Toples
Tak akan pernah kualihkan bahwa cinta dalam diam itu memang sangat
melelahkan. Lelah kerena menunggu yang tak mungkin ada. Dan aku tetap
akan mencintaimu dalam diam selama tidak ada yang mengahapus cintaku dalam
diam--selama itu aku akan tetap bertahan. Meski nanti-- jika aku tidak kagum
lagi padamu maka aku akan mengabadikanmu dengan aksaraku nanti.
Seolah tamparan—bagi kata yang sempat
kuungkap untuk tidak jatuh cinta terlebih dahulu. Ah, aku memang sedang
tidak ingin jatuh cinta. Kau mulai hadir, kau hadir tak pernah kuundang bahkan
aku tak akan mengundangmu untuk hadir dihatiku karena cukup bagiku untuk
mencintaimu dalam diam karena-Nya.
Kau tahu
... sekejap aku ingin menyandarkan lelah ini dibahumu. Dan membisikkan aurora
kata ini untukmu,” Aku tak akan pernah lelah, lelah menyayangimu meski dalam
diam”.
Seperti kisah cinta sucinya Saidatina
Fatimah dan Saidina Ali—yang akhirnya Allah pertemukan jua. Ah, mungkin
aku terlalu berlebih mencintainya.
Tapi ia
benar-benar membiarkan hati ini untuk berteduh ditoples hingga pada akhirnya
aku menunggu Allah jua untuk pertemukan aku dengannya.
Hanya do’a yang mengantarkan
percakapan aku dengannya, meski ia tak mendengar—tapi keyakinanku tetap tak
akan lelah untuk terus mengeksekusikan cinta ini lewat do’a. Jika kau
merasa dan yakin dengan cinta yang kusembunyikan dalam diam di dalam toples ini
untukmu. Percayalah namamu akan terukir abadi dalam hati—dalam aksara—dan dalam
keabadian.
Coba lihat
aku yang tak akan pernah lelah mengukir namamu dihatiku—tak akan pernah
berujung pada satu ukiran meski kau tak pernah tahu akan hal itu.
Sebab,
Kini aku mulai terbuka untuk belajar. Belajar mencintaimu dalam aksaraku. Untuk
melengkapa kerangkaku yang muali usang. Dan lagi-lagi kini kerangka ini mulai
usang.
Mencintaimu,
Kini mulai terselip pada buku—cinta tersekap tolpes itu kini kuselipkan
pada buku. Apakah kau tahu itu?. Cinta itu sudah kuselipkan dalam buku. Bukumu,
bukunya, buku kalian dan buku mereka. Dan ia tidak akan menjadi cinta
dalam diamku lagi. Ah, ingin kualihkan saja semua cintaku ini untuk para tukang
kebunku.
“Kau tidak
lelah?”
“Bukannya
aku sudah bicara pada toples pertamaku— aku sangat lelah jika harus
mencinta seperti ini. Diam dan tak ada paruh yang bisa kuagungkan pada
catatanku”
“Lantas
apa yang kau tunggu—apakah kau akan kuat dengan kelelahan yang kau buat?”
“Akan
kucoba. Sebab, Aku sedang menunggu Tuhan memberikan aku koma... “
“Koma apa
yang kau tunggu?”
“Koma untuk
mengesekusi cinta dalam diam ini.”
“Kau tidak
yakin dengan cinta yang kau miliki?”
“Tidak.
Sebab, dengan ketidak-yakinanku inilah—aku akan menyimpannya dalam diam”
“Sudahlah
kau percaya saja pada cintamu yang mulai tumbuh ini meski dalam diam?”
“Tidak.
Aku akan tetap menunggu titik Tuhan”
“Koma-Nya?”
“Aku juga
menunggu koma-Nya untuk saat ini. agar sejenak aku tidak mencintanya. Maka dari
itu Bantu aku berdoa.”
“Sudahlah
jangan menunggu Tuhan untuk mengeksekusi cintamu dengan koma-Nya dan
titik-Nya. Eksekusi saja olehmu”
“Tetap
tidak. Aku masih menunggu Tuhan. Dan aku akan tetap menunggu-Nya untuk
mengeksekusi takdir-Nya. Biarlah cinta ini tetap dalam diam meski aku mulai
sangat lelah.”
“Sudahlah,
terserahmu. Sebab, aku heran. Mungkin heranku akan hilang setelah aku menemukan
sebabmu mencintainya dalam diam. Sebab yang kutahu karena Tuhan, dan kau belum
menceritakan sebab lain....”
Ia pun
pergi menghilang—bersamaan dengan aku pergi dari tempat duduk
bercerminku.
...
Cianjur,
16 Agustus 2013 18:58
Cinta Tersekap Toples
Sajak sebelum tidur
Titik
;Fatimah dan Ali Bin Abi Talib
Dengan kesederhanaan ialah sarat yang ringan untuk kuberiathu padamu—
Nanti
Adalah keikhlasan yang aku janjikan untuk mengikut
kisah Fatimah dan Ali Bin Abi Talib yang diingini.
...
Ketika aku memberitahumu “Cinta dalam diam ini untukmu”.
Kau tahu apa yang aku takutkan?
“Aku takut, Tuhan kurangkan rasa ini padamu”
Meski aku sempat beraksara pada kertas—meski aku tak mengagumimu lagi.
"Aku akan tetap mencintamu dalam diam tanpa lelah”
Cianjur, 16 Agustus 2013 00:45
Cinta Tersekap Toples
Detik Menuju Toples 4...
;aku masih saja memikirkannya
Kemarin ... Ia yang mulai bernama membuatku tak bisa bercerita—bercerita
tentang apa yang telah kubaca. Bahkan semua ceritaku melayang ketika ia mulai
bertanya. Ah, sebab itu aku tak mau ia tahu tentang rasa ini—sebab ada
ketakutan ketika aku tak bisa bercerita padanya. Dan aku pura-pura bodoh tak
bisa bicara.
“Apa yang menarik dari daun itu?”tanyanya ketika itu.
Dan aku tak menjawab apa-apa. Diam dan aku hanya bisa diam dibalik
pertanyaannya. Meski sebelumnya aku tahu tentang kehidupan daun itu--bahkan aku
selalu berdalih dari pertanyaannya. Tapi entahlah... cinta dalam diamku ini
benar-benar membuatku diam tak bernama—tanpa kata, menghadirkan anomalia rasa.
Sudahlah... aku sudah lelah. Ya ... aku lelah pura-pura bodoh dihadapanmu.
Cianjur, 17 agustus 2013, 07:24
Cinta Tersekap Toples
Toples 4.
Ia pun datang. Dan duduk kembali di tempat aku bercermin.
“Dari mana kau?”
“Kerangkaku—sepertinya sedang sakit, tadi malam aku
menengoknya—hingga aku tidak bisa tidur, kau tahu itu?”
“Tidak. Aku tidak tahu itu. Kau tak bilang hal itu padaku. Sebab,
yang kutahu kau sedang jatuh cinta”
“Tidak. Aku tidak jatuh cinta. Dari mana kau tahu aku jatuh cinta?”
“Terus cinta dalam diammu itu?”
“Entahlah... ia akan tetap menjadi cinta dalam diamku—terlebih saat ini aku
sedang fokus dengan kerangkaku yang sudah mulai usang dan aksaraku yang tak
tahu bagaimana kelanjutannya nanti.”
“Kau itu memang keras kepala. Apa susahnya kau bilang jatuh cinta
saja. Kau selalu seperti ini. selalu membalikkan perbincangan kita pada
aksaramu. Apakah kau tak ingin memiliki seseorang yang peduli dengan
hidupmu”
“Sudah kubilang dari kemarin juga, dan sudah lama pula kuulangi dalam
seluruh catatanku. Cukup ibu dan bapakku, dan cukup keluargaku—cinta mereka dan
kalian untuk saat ini yang cukup kumiliki. Kau mengerti itu?”
“Ya, aku mengerti tapi...”
“Sudahlah jangan mengulang perbincangan kita yang dulu itu,”
“Terus apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Menulis, menulis dan menulis. Membaca, membaca dan membaca”
“Tak inginkah kau selipkan dengan cinta?”
“Sudahlah ... jangan bilang cinta dihadapanku”
“Kau memang selalu seperti itu. Kau tak bisa menolak cinta yang datang
tiba-tiba, kawan”
“Aku sedang berusaha menolaknya. maka dari itu, kumohon dukung aku
untuk menolaknya—bukan mendukung aku semakin mencintainya”
Lagi-lagi ia menghilang bersamaan dengan aku beranjak dari tempat duduk
bercerminku. Ah, rasanya aku muak sekali jika berbicara dengannya. Ia
selalu bertentangan dengan apa yang aku inginkan. Tapi...
Cianjur, 17 Agustuds 2013. 16:06
Cinta Tersekap Toples
Lamunan sebelum tidur...
Nama Cinta dalam Diam
;Zafran
kini kau kuberi nama Zafran. Ya ... Zafran,
sebab ketika aku melihat Zafran yang terlintas adalah kau yang kucintai
dalam diam.
Aku mencoba menerka wajahmu;
Zafran
dan aku mengingat cinta dalam diamku
Ketika melihat sosok Zafran maka yang terlitas adalah kau
kau yang menjadi cinta dalam diamku ini.
Zafran yang puitis, sedikit "gila", apa adanya, idealis, sedikit
narsis,
dan memiliki bakat untuk menjadi orang terkenal.
Itulah sosoknya yang ada dalam film 5cm ...
Ya, kau tahu dari siapa aku menemukan sosok Zafran itu?
Darimu yang tetap kucintai dalam diam.
...
Cianju, 18 Agustus 2013. 00: 35
Cinta Tersekap Toples
Cerita Kopi (Moccacino)...
“Tidak, aku tidak mengingat cinta dalam diam itu dalam kopi ini,” kataku sembari
menatap secangir kopi moccacino di ujung mulutku—hampir saja aku
meneguknya.
“Terus, kenapa kau diam menatapku? ”
“Ia ... “jawabku pelan
“Ia, Siapa?”
“Cinta dalam diamku...”jawabku lirih
“Kau ini bagaimana, Katanya tidak mengingatnnya,”
“Tapi ia selalu hadir dalam setiap aku melihat bayangan dan Ketika aku
menikmati kesederhanaan dalam kopi yang akan aku minum ini—hingga bertemu titik
pahit terdalam”
“Dan dari sanalah kau akan menemukan anomalia rasa yang sesungguhnya,”
“Dari mana?”tanyaku penasaran
“Dari kopi yang akan kau minum sekarang—dari pahit terdalam yang nanti akan
kau temukan dalam kopi ini... “
Rasa penasaran melandaku saat ini. Saat kopi ini berada di ujung mulutku.
Dan ia pun menghilang bersamaan dengan aku meneguk secangkir kopi ini hingga
habis—hingga menemukan pahit terdalam.
Cianjur, 18 Agustus 2013 . 08:45
Cinta Tersekap Toples
Detik-detik
Menutup Toles...
Entahlah
aku benar-benar tak mengerti dengan cinta yang aku anggap cinta dalam diam ini.
Yang jelas aku sudah mulai lelah dan akan membiarkannya tanpa cerita.
Didekatnya
aku biasa. Tak ada yang berbeda. Tapi aku benar-benar tak mengerti kenapa aku
membiarkan ia membentuk cinta dalam diamku ini.
Apakah aku
sedang bereksperimen dengan bercerita tentang cinta?entahlah aku
benar-benar bingung—hingga saat ini aku tak menemukan jawaban itu—mengapa
aku menulis Cinta Tersekap Toples ini? aku pun tidak tahu alasan yang
menyakinkanku. Kenapa seperti itu.
Saat ini
aku memutuskan untuk menutup toplesku dan menjadikannya toples
terakhirku—malam ini. Toples tentang cinta dalam diamku ini. sepertinya tidak
penting sekali jika aku harus memikirkanmu. Ya, memikirkan cinta dalam diamku
ini. tapi aku juga harus banyak terima kasih padamu. Sebab, kau membiarkanku
untuk menulis tentangmu. Dan sekarang aku akan kembali pada kerangkaku yang
mulai usang. kerangkaku yang tak pernah menyakitiku.
Aku memang
tak menampik. Aku takut—takut sakit, ya... sakit saat cintamu tak berpihak
padaku. Maka dari itu terbanglah, dan biarkan aku bicara lagi dengan
kerangkaku.
Beberapa
hari ini kau membuatku gila, bahkan sangat gila. Ketika aku minum kopi saja—aku
bicara sendiri, bercermin saja aku bicara sendiri, akan mengambil air wudhu
saja aku bicara sendiri. Dan yang paling membuatku bodoh adalah ketika
aku meladeni orang yang sudah jelas yaitu adalah diriku sendiri. Ya...
aku berbicara dengan bayanganku sendiri, dan dijawab sendiri olehku. Aku memang
sudah gila.
Hanya
untuk sebuah cerita saja aku harus terjerumus hingga sejauh ini. Dan sebab ini
pula aku ingin menghentikan cerita toplesku ini, sebelum aku benar-benar
mencintainya. Ah, mungkinkah aku takut mencintainya? Yang pasti sudah cukup
sampai sini. Dan aku ingin kembali pada kerangkaku saja.
...
Cianjur,
18 Agustus 2013. 18:45
Cinta Tersekap Toples
Sore tadi aku pulang dari Muker LDK BKIM, dan aku pun
bergegas mengambil air wudhu untuk sholat magrib.
“Hai, kita ketemu lagi.”
“ah, kau ini selalu datang dimana saja. Tanpa ku
panggil . aku sedang lelah, jangan datang sekarang”
“lelah kenapa?”
“kau tahu dari tadi pagi aku muker dan pulangnya
langsung ke sekolahan diniyah tanpa
pulang dulu ke rumah, dan sekarang aku sedang merehatkan sejenak dari seluruh
aktivitasku di air ini”
“ya sudah kau tidur saja. “
“aku tak bisa tidur. Kau tahu setelah aku dari sini
aku kemana?ke tempat pengajian untuk ikut diskusi nahwu sharaf. Dan aku tak
bisa izin lagi”
“Cinta dalam diammu”
“Sudahlah.... jangan bicara lagi cinta dalam diam itu.
sekarang aku sedag dilanda ke khawatiran bagi anak-anak didikku nanti—dan nanti
aku pasti banyak kegiatan yang bakal banyak meninggalakan mereka, dan aku juga
masih berat meninggalkan teman-teman diskusi nahwu sharafku itu.—beri aku
masukan?”
“kan kau sudah mengambil keputusan untuk meninggalakan
teman diskusi nahwu saharafmu selama satu tahun dan anak-anak itu kan sudah kau
titipkan”
“tapi tetap saja aku merasa tak tega meninggalkan
mereka—mereka itu adalah yang membiarkan aku untuk berbagi”
“terus apa maumu sekarang ini?”
“aku mau mengerjakan semuanya—aku ingin tetap bersama
anak-anak itu, dan teman-teman diskusi malamku. Teman diskusi nahwu sharafku,
dan aku juga ingin mengikuti kegiatan yang aku putuskan dengan penuh tanggung
jawab. Entahlah yang pasti aku sedang bingung,”ucapku sembari membasuh muka.
Ia sedikit tak nampak dalam penglihatanku. Aku diam
sejenak.
“kau harus memilih”
“ya... aku tahu itu. tapi aku tak bisa memilih untuk
saat ini”
“tapi kau harus memilih”
Aku wudhu dan ia pun menghilang bersamaan dengan itu.
Ketika aku hendak berangkat ke tempat diskusi—dimana
temapat ini adalah rumah guru spritualku. Kami sering berdiskusi tentang nahwu
dan shraf. Setipa malam—hingga jam 22.00 wib—aku baru pulang kerumah.
Aku duduk terlebih dahulu di depan cermin.
“hai kau mau kemana?”
“aku mau ke rumah pak ustad—mau diskusi”
“istirahatlah,tadi
kau bialng bahwa kau lelah dengan kegiatanmu dari pagi tadi hingga sore”
“tidak aku harus tetap pergi”
“terus, kapan kau akn melanjutkan cinta dalam diammu
lagi”
“gak, cinta dalam diamku ini akan ku tutup saja”
“kenapa?”
“Sebab, aku benar-benar tak mengerti dengan cinta ini”
“kenapa?”
“banyak hal yang harus aku pikirkan, bahkan banyak hal
yng haru aku selesaikan—dan aku pun sudah curiga dengan salah satu tukang
kebunku bahwa cinta diam ini untuk dia—sedangkan yang ku maksud ini bukan
ia—aku sudah menganggap tukang kebunku ini adalah keluargaku dan aku tak ingin
ada salah paham dengan cinta dalam toplesku yang sudah kebuat beberapa hari
kemarin—aku tak ingin ia berubah hanya gara-gara cerita toples yang aku buat.
Aku sudah nyaman diskusi dengannya—tapi entahlah aku merasa ia berbeda setelah
aku menulis cerita toples ini. cerita toplesku bukan untuknya dan aku hanya
berimajinasi saja—tidak lebih”
“terus apa yang akan kau lakukan saat ini?”
“entahalah aku bingunng”
Aku pun pergi dan melempar cermin itu dengan ponsel.
Hingga cermin itu pecah dan ia hilang.
Pecah, dan tak ada lagi catatan
Beberapa hari ini, ketika aku ingin
menutup toples yang kutulis ini—setelah aku menemukan kesalahpahaman. Setelah
aku mencoba membaca wajahmu—sebelum toples cinta ini akan kututup. Tadi magrib,
Toples itu terjatuh dan pecah terkena tembok aksaraku. Ketika itu—ketika aku
mempertahankannya untuk tetap menjadi utuh dan aku mencoba merangkainya
lagi, tapi sepertinya tidak bisa. Aku
lelah dan aku tak bisa—apalagi ketika aku melihat matamu yang tidak biasa
kulihat sebagaimana mestinya. Mata yang menjaga jarak denganku.
Ah, aku ingin kau biasa saja—biasa seperti sebelum aku
menulis catatan toplesku ini. Kau yang
aku banggakan seperti kakakku, seperti motivatorku, ya... salah satu tukang
kebun aksaraku. Tapi entahlah, kini kau
berbeda dan membikin aku ingin menarik ulur rasa kagumku padamu. Yang pasti aku
tetap memberikan perasaan yang sama kepada semua tukang kebun aksaraku—sama
seperti aku memberikan rasa kepada kakak-kakaku, pun keluargaku.
Anomalia rasa telah menunjukkannya padaku bahwa Allah
Maha pembolak-balik hati manusia. Pun seperti halnya aku yang ada pada malam
ini—aku yang menatap bulan purnama malam ini—aku yang mengartikan cinta dalam
diamku ini sebagai rasa kagum yang tak berlebih. Seperti aku mengagumi para
tukang kebun aksaraku itu.
Dan kau ... Sungguh, sedikitpun rasa kagum ini mulai
mengikis—dan rasa kagum ini semakin tipis. Entah karena apa?
Tak pantas jika kuulur lagi. Sepertinya Zafran itu
bukan kau, bukan kau yang selama ini aku sangka-sangka. Entahlah apa yang
sedang kuterka ini. Pun setelah aku menemukan kenyamanan berdiskusi
denganmu—sekarang mulai luntur.
Oh, Allah beri aku habituasi hangat untuk mengolah
rasa. Dan maaf jika aku harus berubah..., aku tidak bisa jika harus menerka rasa orang yang belum tentu
mengenalku—sebab kagumku dan sebab anomali rasaku. Ketika aku mengenalnya—maka
aku siap mencintainya. Mencintainya seperti mencintai semua para tukang kebun
aksaraku—mencintainya seperti mencintai keluargaku.
Catatan Facebook terakhir, 21 agustus
2013. 23:01
Pecah
Pecah,
dan tak akan ada lagi catatan cinta dalam diam.
Beberapa
hari yang lalu, ketika aku ingin menutup toples yang kutulis minggu-minggu ini
ini—setelah aku menemukan kesalahpahaman. Setelah aku mencoba membaca wajahmu—sebelum
toples cinta ini akan kututup.
Tadi
magrib, Toples itu terjatuh dan pecah terkena tembok aksaraku. Ketika
itu—ketika aku mempertahankannya untuk tetap menjadi utuh dan aku mencoba
merangkainya lagi, tapi sepertinya tidak bisa. Aku lelah dan aku tak
bisa—apalagi ketika aku melihat matamu yang tidak biasa kulihat sebagaimana
mestinya. Mata yang menjaga jarak denganku.
Ah,
aku ingin kau biasa saja—biasa seperti sebelum aku menulis catatan toplesku
ini. Kau yang aku banggakan seperti kakakku, seperti motivatorku, ya...
salah satu tukang kebun aksaraku. Tapi entahlah, kini kau berbeda dan
membikin aku ingin menarik ulur rasa kagumku padamu. Yang pasti aku tetap
memberikan perasaan yang sama kepada semua tukang kebun aksaraku—sama seperti
aku memberikan rasa kepada kakak-kakaku, pun keluargaku.
Anomalia
rasa telah menunjukkannya padaku bahwa allah Maha pembolak-balik hati manusia.
Pun seperti halnya aku yang ada pada malam ini—aku yang menatap bulan purnama
malam ini—aku yang mengartikan cinta dalam diamku ini sebagai rasa kagum yang
tak berlebih. Ya ... Seperti aku mengagumi para tukang kebun aksaraku.
Dan
kau ... Sungguh, sedikitpun rasa kagum ini mulai mengikis—dan rasa kagum ini
semakin tipis. Entah karena apa?
Tak
pantas jika kuulur lagi. Sepertinya Zafran itu bukan kau, bukan kau yang selama
ini aku sangka-sangka. Entahlah, apakah aku sedang bermain peran dengan
catatanku? apa yang sedang kuterka ini, Pun setelah aku menemukan kenyamanan
berdiskusi denganmu—sekarang mulai luntur.
Oh,
Allah beri aku habituasi hangat untuk mengolah rasa. Dan maaf jika aku harus
berubah..., aku tidak bisa jika harus menerka perasaan orang yang belum
tentu mengenalku—sebab kagumku dan sebab anomali rasaku. Ketika aku
mengenal—maka aku siap mencintai pun menyayangi.
"Mencintainya
seperti mencintai semua para tukang kebun aksaraku—tak ada yang kubeda-bedakan.
mencintainya seperti mencintai keluargaku. Dan anomalia rasa ini bukan
untukmu,"ucapku sembari menutup buku catatann terakhirku.
Catatan
Facebook terakhir, 21 agustus 2013. 23:01
No comments:
Post a Comment