Oleh Siti Halimah
Sepertinya
perempuan itu sudah terbiasa menyusuri jalan setapak, menggendong ransel dipundaknya.
Tanpa ada rasa lelah yang ia pancarkan. Kakinya begitu teguh melawan hidup.
Hingga seusai pulang sekolah ia masih menggendong ransel itu untuk menghidupkan
api semangat mengabdi pada sekolah.
Apa yang menjadikan seorang perempuan
tegar menjalani kehidupan yang tak sepantasnya ia dapatkan di seusianya. Ya, ia
sudah berusia 50 tahun. Begitu sederhana apa yang ia selalu tanyakan pada Tuhan,
“Berapa umurku sekarang?” Sederhana sekali ia mengajakku untuk menelaah
kehidupannya. Seorang perempuan penyayang, ia juga ikhlas menjadi pengajar.
Semakin lama langkah perempuan itu
semakin jauh dan tak terlihat. Apakah yang ada di depan matanya itu adalah
suatu harapan tentang helaian kehidupan yang dijalaninya seorang diri. ia terus
saja berjalan tanpa henti. Tanpa lelah tanpa mempedulikan apa yang semestinya
ia dapatkan diseusianya, hingga dalam waktu dua jam perjalan ia sampai ke
tempat ia mengajar.
Sudah tiga puluh tahun perempuan itu
ditinggal oleh Ayah, suami dan anaknya akibat kecelakaan. Ayah, dua anak dan
suaminya meninggal di tempat kejadian, sedangkan ibunya baru saja meninggal
setahun yang lalu sehingga ia banyak menghabiskan waktu dengan ibunya.
“Bu, aku pulang. Apakah Ibu sudah makan?
Tadi pagi Ibu minum obatnya, kan?”
Ia selalu mengkhwatirkan ibunya. Dengan
keteguhannya untuk menjaga ibunya ia hingga tak pernah terlambat masuk kelas.
Sepagi mungkin ia harus menimba air untuk ibunya mandi. Kemudian ia mesti menyiapkan
makanan dan obat-obatan untuk Ibunya. Tidak pernah terelakkan lagi ia sering kerepotan
setiap pagi.
Di umurnya yang sudah senja, ia harus
menghabiskan masa tuanya untuk mengurus semua pekerjaan di rumah sebelum
berangkat mengajar. Seringkali aku melihat ia sedang berjalan sendiri di tepi
sungai. Sekian lama aku memperhatikan perempuan senja itu. Hingga aku selalu
lupa jalan pulang.
Setiap di hulu sungai, ia sedang menulis.
Entah apa yang ia tulis. ia selalu saja terlihat khusyuk menulis dan yang ia perhatikan
adalah sungai itu dan sebuah pusaran yang ada di sampingnya—sungai yang setiap
hari mengalir. Terkadang ia menghabiskan waktunya untuk menulis sebelum ia melanjutkan
perjalanan rutinnya untuk mencari kayu bakar setelah pulang mengajar, terkadang
pula hingga senja hampir berakhir ia masih menulis di samping pusaran itu.
“Ibu,
aku pulang. Ibu, apakah Ibu sudah makan, obatnya sudah di minum belum, Bu?”
Ia hanya mengatakan itu ketika pulang.
Hanya bertanya apakah Ibu sudah makan atau belum, terus bagaimana obatnya? Dan
setelah bicara seperti itu ia selalu diam di belakang pintu. ia hanya ingin
tahu apa yang dikatakan Ibu ketika ia tidak ada di rumah. Tapi selalu saja
gagal dan tidak pernah terdengar perkataan sedikit pun.
Ketika itu ia selalu saja melihat ibu
sedang duduk dan menyandarkan kepalanya di atas bantal. Entah apa yang Ibu itu
panjatkan tapi ia selalu saja terlihat menengadahkan kepalanya dan mengangkat
kedua tangannya, entah doa apa yang hendak ia pinta.
Perempuan itu menundukkan kepalanya dan
segera pergi dari balik pintu kamar ibunya.
“Bu, aku berangkat sekolah, Bu. Doakan
aku, Bu, semoga semua murid di kelas bisa menyerap pelajaran hari ini. Nanti
jangan lupa makan siang, minum obat. Aku akan pulang sore, Bu ....”
Lagi-lagi perempuan itu selalu
mengatakan hal yang sama ketika ia pulang sekolah dan berangkat ke sekolah.
Seperti hari-hari sebelumnya, ia menuju
hulu sungai dan menghampiri pusaran itu, tapi berbeda dengan hari ini. Biasanya
ia pergi ke hulu sungai ketika pulang sekolah, dan sepagi ini ia sudah ke hulu
sungai, apa yang ia lakukan, apakah ia benar-benar sudah kalah dengan kehidupan
yang ia hadapi.
Ia telihat diam dan murung, entah apa
yang ia pikirkan. Dengan segera ia mengeluarkan buku yang digantungkan di lehernya.
ia pun menulis lagi dengan khusyuk. Hari semakin siang sedangkan ia masih saja
menulis di hulu sungai itu, bahkan ia sudah telat masuk kelas namun ia terlihat
diam saja dan tetap menulis.
Sedari kecil ia sudah sering
mengumpulkan koran-koran yang ia temukan di jalan, bahkan ketika ia hendak ke
warung dan membeli gorengan ia sering membersihkan koran bekasnya dan
ditempelkan di dinding kamarnya.
“Cita-cita aku akan seperti Anton
Chekhov, aku akan mengelling dunia ini dengan tulisanku, dan akan membahagiakan
Ibu dengan tanganku. Aku ingin Ibu berbicara lagi,” ucapnya sembari
mengelus-ngelus koran yang dibersihkan yaitu
cerpen Anton Chekhov.
Menulis adalah hobi yang ia kerjakan, setelah
pekerjaan pertamanya di sekolah dasar selesai. Setelah ia juga menjaga ibunya, membawa
kayu bakar setelah senja berlalu setiap hari. Itulah yang seringkali ia lakukan.
“Bu, aku pulang. Sudah makan siang
belum? Terus bagaimana dengan obatnya?”
Dan untuk kesekian kali ia mengatakan hal
yang sama. Dan yang ibu lakukan hanyalah diam tanpa menjawab sepatah kata pun.
Ibunya selalu menatapnya dan ia mengerjakan hal yang sama seperti hari kemarin,
ia diam di balik pintu kamar ibunya.
Lagi-lagi ia harus menunduk dan pergi
dengan harapan Ibunya yang tak ia ketahui.
“Aku
ingin Ibu kembali dan melihatku menjadi menjadi Pegawai Negeri Sipil seperti
mau Ibu. Aku ingin ibu sembuh sampai aku meninggal terlebih dahulu,” untuk
malam ini perempuan itu berbicara seperti halnya ia mengungkapkan harapannya,
dan yang dipegangnya adalah kerudung.
“Sekarang hanya Ibu yang ada di sampingku
meski aku hanya memegang kerudungmu saja,” sambungnya, dan lagi-lagi ia berbicara
entah sama siapa—di atas pusara.
Sepertinya perempuan itu tampak sedih.
Ia tampak menjauh dari apa-apa yang membuatnya merasa sendiri. Baginya kerudung
itu adalah sesuatu yang membuatnya merasa tidak sendiri. Selama hidupnya ia tidak
pernah menggantungkan hidupnya pada orang. Dengan bongkahan kayu yang ia bawa
setiap pagi, dan dibawanya kayu itu kepada orang yang membutuhkan.
“Bu, kayu yang dulu selalu Ibu simpan di
pundak Ibu, kini telah berdiri dipundakku.
Dan dengan kayu dari Ibu, aku merasa jadi tumpuan yang kuat, Bu,” kata perempuan
laki-laki itu sembari kembali memeluk pusaranya.
Dan
lagi-lagi perempuan itu terlihat berbicara lagi entah sama siapa—memeluk
kerudung ibunya yang mulai usang.
Harinya adalah kerudung peninggalan
ibunya. Ibunya yang kini telah menjadi bidadari di alam yang berbeda, ketika
pusaran dijadikannya tempat menulis—dijadikannya untuk meluapkan rindu pada
ibunya. ia selalu menganggap bahwa ibunya masih hidup bersamanya, hingga ia seperti
sekarang—beranjak senja.
Ia sangat terpukul ketika Ibunya
meninggal beberapa hari yang lalu. Tapi ia tetap semangat menjalankan tugasnya
sebagai pengajar di sekolahnya. Sudah hampir
25 tahun ia menjadi honor sekolah.
Jika diceritakan ia adalah guru yang
sangat penyayang dan lembut. Dengan segala keadaannya ia tak pernah menghadirkan
kesedihan di kelas.
“Anak-anak, bagaimana dengan pekerjaan
rumah yang Ibu berikan kemarin?” tanya perempuan itu.
“Sudah selesai, Bu …,” jawab anak-anak
riuh.
Aku hanya memerhatikannya di luar
jendela dengan segala keterbatasanku sebagai penjaga sekolah. Lalu tiba-tiba
ketika aku duduk ditempatku menjaga sekolah. Aku menemukan buku kecil yang
sering kali dikalungkan perempuan itu ke lehernya. Dengan lancang aku membukanya.
“Kehidupan itu tidak
bisa seperti yang kita inginkan. Semua butuh persetujuan Tuhan. Sudah diatur
Tuhan. Aku bertahun-tahun mengajar di sekolah ini. Aku sedih ditinggal ibu
dengan keadaanku yang belum menjadi Pegawai Negeri Sipil sampai sekarang. Sudah
berpuluh-puluh tahun. Tapi ada kebahagiaan yang sebenarnya aku pungkiri yaitu
mengajar anak-anak di sekolah, membuat mereka merasa bahagia setiap harinya, dan
aku harus melanjutkan hidup meski tanpa siapa pun. Karena masih ada yang harus
aku hidupkan lagi. Yaitu anak-anak yang selalu aku tanya ’Anak-anak bagaimana
pekerjaan rumah yang telah diberikan kemarin?’
Lalu, hai kamu
penjaga sekolah. Bisakah kamu menjadi guru buat anak-anakmu di rumah? Jangan
hanya menerkaku saja. Karena guru bukan hanya saja berbicara di sebuah gedung
tapi di sebuah tempat dan oleh siapa saja.”
Ternyata catatan di buku kecil ini untuk
aku? Aku kaget, kemudian aku kembali mengerjakan pekerjaanku sebagia penjaga
sekolah.
Cerpen Ini tergabung dalam Antologi cerpen "Guru Di Ladang Ilmu" Guru Penulis Jawa Barat