1
WILAYAH SEJARAH SASTRA
a.
Pemahaman
Sejarah Sastra
Sejarah sastra
adalah salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan sastra suatu bangsa. Sejarah sastra juga tombak pertumbuhan dan
perkembangan sastra di Indonesia yang menyangkut studi yang berhubungan dengan
penyusunan sejarah sastra yang menyangkut masalah periodisasi dan perkembangan
sastra. Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah
segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan
suatu bangsa sehingga menimbulkan juga pengertuan lain bahwa sejarah sastra itu
bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan
lain-lain.
b.
Konsep Sejarah Sastra
Sejarah
sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu
ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu,
para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang
menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar
masalah sastra. Dengan mempelajari sejarah sastra, kita dapat mengetahui
perjalanan sastra dari waktu ke waktu sebagai bagian dari pemahaman terhadap
budaya bangsa. Tugas sejarawan sastra bukan hanya sekadar mencatat, dan
menginventarisasi karya sastra, tetapi tugasnya lebih dari itu. Sebagai suatu
kegiatan keilmuan sastra, ia harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan
ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang
melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik, periode-periode yang memuat
karya-karya sastra, serta masalah lainnya yang menyangkut masalah sastra. Oleh
karena itu, dalam mempelajari sejarah sastra tidak lepas dari teori dan kritik
sastra.
Menurut
Teeuw, pengkajian sejarah sastra hendaklah bertolak dari berbagai cara yang
dapat membantu peneliti dalam meneliti sejarah sastra sehingga menghasilkan
sejarah sastra yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Bagan lahirnya
periodisasi Sastra
|
c.
Judul penelitian
yang berkaitan dengan sastra
-
Analisis
Literasi Kritis Puisi Takut 66, Takut 98 Karya Taufiq Ismail Yang
Merepresentasikan Kekuasaan.
-
Kajian
Historis dalam Puisi “Karawang Bekasi” Karya Chairil Anwar
-
Kajian
Historis Dan Nasionalisme Dalam Dua Puisi Tentang “Diponegoro”
-
Kajian
Historis Puisi Takut 66, Takut 98 Karya Taufiq Ismail
d.
Kajian Historis
(dalam lampiran 1)
2 WILAYAH TEORI
SASTRA
a.
Teori yang
berkenaan dengan pengarang
Teori yang
berkenaan dengan pengarang atau Artist (pencipta karya sastra) adalah ebagai
seorang pengarang yang menghasilkan karya sastra dia berangkat dari berbagai
ide, pemikiran, perasaan, pandangan, gagasan serta hal lain yang menyebabkan ia
akhirnya menulis karya sastra. Ia mengekspresikan segala yang terdapat di dalam
dirinya ke dalam bentuk karya sastra. Dari sudut pandang ini, teori ekspresif dan pendekatan ekspresif
merupakan teori dan pendekatan yang digunakan dalam mempelajari karya sastra.
b.
Teori yang
berkenaan dengan karya sastra
Work (karya
sastra itu sendiri) sebagai suatu objek yang dipelajari. Karya sastra sebagai
suatu karya yang telah dihasilkan penulisnya memiliki struktur sendiri yang
membangun keutuhan dirinya. Sebagai suatu karya ia telah terlepas dari
pengarangnya. Dari sudut pandang ini, teori
dan pendekatan struktural, atau pendekatan objektif merupakan teori dan
pendekatan yang digunakan dalam mempelajari karya sastra.
c.
Teori yang
berkenaan dengan pembacanya
Audience
(pembaca). Pembaca adalah penikmat karya sastra. Pengarang menulis karya sastra
tentunya untuk dibaca, untuk dinikmati oleh orang lain. Dari sudut pandang ini,
teori pragmatik dan pendekatan pragmatik
digunakan dalam mempelajari karya sastra, yaitu penekanan pada aspek pembaca
sebagai penikmat karya sastra.
WILAYAH KRITIK
SASTRA
a.
Latar belakang adanya
kritik sastra
Lahirnya kritik
sastra telah melengkapi bidang studi sastra atau wilayah ilmu sastra menjadi
teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Sering orang mencampuradukkan
ketiga bidang studi ini padahal ketiganya mempunyai wilayah yang berbeda
walaupun saling berhubungan, saling menunjang,dan saling mengisi. Kritik sastra
merupakan bidang studi sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya, yang
membahas bernilai tidaknya sebuah karya sastra. Seorang pembaca sastra dapat
membuat kritik sastra yang baik apabila dia betul-betul menaruh minat pada
sastra, terlatih kepekaan citanya, dan mendalami serta menilai tinggi pengalaman
manusiawinya. Yang dimaksud dengan mendalami serta menilai tinggi pengalaman
manusiawi adalah menunjukan kerelaan psikologinya untuk menyelami dunia karya
sastra, kemampuan untuk membeda-bedakan pengalaman secara mendasar, dan
kejernihan budi untuk menentukan macam-macam nilai.
b.
Manfaat kegiatan
kritik sastra
Kata kritik
dianggap kata yang bermakna negatif karena menilai sesuatu dari sisi kekurangan
dan kelemahannya, menghakimi seseorang atas kekurangannya sehingga orang yang
dihakimi tidak dapat berkembang.
Manfaat kritik sastra diantaranya:
ü
Seseorang
yang menerima untuk dikritik dia akan merasa bahwa dengan dikritik dia akan
memperoleh masukan dan pembelajaran tentang kekurangan atau kelemahannya,
bahkan juga keunggulannya. Dengan demikian ia akan berusaha memperbaiki
kekurangan dan kelemahannya sehingga karyanya akan menjadi lebih baik dan ia
akan menjadi orang yang sukses dalam bidangnya. Demikian halnya dengan
pengertian kritik, khususnya dalam kritik sastra.
c.
Metode Kritik
sastra
a) Metode Pendekatan Kritik Sastra Feminis
Kritik
sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan
yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap
semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis
(Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang
revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang
mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan
yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
Dengan
kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang
ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Oleh karena itu, seperti
dijelaskan Djajanegara (2000), terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus
pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi
kanon-kanon yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi
dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis
dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.
Fokus
kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan
karya sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia
yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis
melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini,
kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung
mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama
ini diredam.
Feminisme
dan kritik sastra feminis membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan.
Di berbagai wilayah, berkat usaha para kritikus feminis, para perempuan dan
karyanya mulai dipertimbangkan dengan adil. Banyak karya perempuan yang awalnya
oleh para kritikus tradisional dianggap bukan kanon, setelah melalui pengkajian
dari sudut feminisme diterima masyarakat sebagai kanon. Karya Mary Ann Cross
(George Eliot) di Inggris adalah salah satu contohnya.
Angin
segar itu misalnya terasa dari kajian-kajian gynocritics dari berberapa
kritikus sastra, antara lain oleh Korrie Layun Rampan berupa penyusunan
antologi dan pengkajian karya-karya khusus perempuan yang sangat membantu
penyusunan ulang sejarah kesusastraan dalam hubungannya dengan keberadaan
perempuan, peningkatan pemberian kesempatan terhadap perempuan dalam
kegiatan-kegiatan sastra (meski belum imbang antara laki-laki dan perempuan),
dan kritik yang lebih objektif dalam melihat keunggulan karya perempuan
sehingga saat ini karya perempuan diperhitungkan dan menempati kanon-kanon
sastra.
b)
Metode Pengudaran Teks
Metode pengudaran teks (explication de text) telah
di perkenalkan atau di paparkan secara panjang lebar oleh Andre Hardjana(1981:
50-58); ringkasannya kurang lebih sebagai berikut.Metode tersebut sebenarnya
sudah di tinggalkan oleh para kritikus di negara-negara maju karena di sana
telah berkembang teori-teori sastra yang canggih dari psikologi, sosiologi,
fenomenologi, dan strukturalisme, namun pengudaran teks masih dapat di
manfaatkan oleh kritikus pemula (yunior), khususnya mahasiswa Indonesia yang
belum sepenuhnya menguasai teori-teori mutakhir dari Barat, bahkan tidak
memiliki tradisi kritik sastra yang mapan. Pada prinsipnya, dengan metode
tersebut kritikus menghadapi karya sastra secara langsung dengan segenap
pengalaman dan pengetahuanya sehingga memperoleh pemahaman yang orisinal
terhadap karya sastra yng bersangkutan. Dengan metode itu, kritikus tidak
merasa terbebani seperangkat teori yang rumit-rumit, namun tidak berarti hanya
mengandalkan pengalaman dan pengetahuannya sendiri.
c)
Metode Struktural
Mudah di pahami bahwa metode struktural bertumpu pada
pendekatan objektif dan strukturalisme yang mnganalisis jalinan unsur-unsur
struktur karya sastra dalam pembentukan suatu gagasan dan makna tertentu. Dari
telaah Kritik Sastra Indonesia ( Yudiono K.S, 1986: 52-56) di peroleh catatan
bahwa metode tersebut berkembang pada pertengahan abad ke-20 sebagai reaksi
terhadap studi sastra bad ke-19 yang bersifat historis komparatif sebagaimana
lazim berlaku dalam studi bahasa, sedangkan strukturalisme merupakan reaksi
terhadap eksitensialisme sebagai aliran filsafat yang marak di Prancis setelah
Perang Dunia II. Strukturalisme Prancis itu berasal dari Amerika Serikat
melalui pertemuan ahli bahasa Roman Jakobson dan antropolog Claude
Levi-Strauss, dan sejak tahun 1965 telah menumbuhkan beberapa aliran atau pendekatan
seperti deskripsi teks berdasarkan analisis bahasa Jakobson, kritik sastra
Roland Barthes, dan narratologi.
d)
Metode Sosiosastra
Sesuai dengan namanya, metode sosiosastra merupakan
seperangkat alat untuk memahami hubungan antara karya sastra dengan kehidupan
sosial yang melingkunginya berdasarkan pandangan bahwa karya sastra iu di
ciptakan pengarang sebagai individu yang pasti berada dalam lingkungan
masyarakat dan zaman tertentu,sehingga masuk akal apabila karya sastra
mengungkap berbagai masalah yang terjadi dalam masyarakat
sesuai dengan gagasan atau persepsi pengarang yang bersangkutan.
Apabila kemudian karya sastra itu sampai ke tangan pembaca, sebenarnya telah
melewati prosedur yang panjang dan berliku terkait dengan (sekurang-kurangnya)peranan
penerbit, penyalur, kebijakan pemerintah, tradisi, dan pendidikan sastra.
Dengan demikian, secara teoretis dapat dikatakan bahwa karya sastra apapun
tidak bisa di pisahkan dari kehidupan masyarakat walaupun relevansinya dengan
kehidupan sosial merupakan persoalan tersendiri yang terbilang rumit
sebagaimana telah dipaparkan oleh para ahli dan pelapor sosiologi sastra.
.
e)
Metode
perbandingan
Metode perbandingan sudah lama di pergunakan oleh
filologi, sebuah disiplin ilmu yang memusatkan perhatian terhadap
naskah-naskah kuno dengan tujuan mencari naskah yang asli atau mendekati
aslinya sebagai bahan penelitian dalam pengkajian teks untuk mengetahui
gambaran kehidupan manusia dan sosial budaya zaman-zaman yang silam. Metode
perbandingan hanya merupakan salah satu metode pengkajian naskah
karena masih ada meode-metode lain yang harus di terapkan oleh filologi, yaitu
penerapan naskah, penerapan teks, transliterasi, rekontruksi teks, dan
penyutingan.
f)
Metode
Pendekatan Kritik Sastra Formalis
Secara
definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih
mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain,
karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu
yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang
dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari
kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.
Gerakan
formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang dikemukakan
oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk meletakkan
studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari
pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang
khas melalui penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).
g) Metode Pendekatan Kritik Sastra Respon Pembaca
Metode
pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam
hal ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari karakter pembaca
merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
pembaca gelisah dan pembaca pasrah.
1. Pembaca Gelisah
Pembaca
gelisah adalah publik pembaca sebagai penikmat karya sastra
apa adanya dan tak mau ambil pusing tentang sastra. Mereka pasrah
dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir adalah penikmat
sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki pekarya sastra agar
karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca. Kritik sastra adalah
studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik sastra
lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel seperti halnya arca diam
membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.
Bagi
peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri
terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar memiliki satu
interpretasi yang mantap, mereka memerlukan berbagai interpretasi. Sebuah karya
mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari
kritik lainnya. Maka lahirlah kritik atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain
kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik.
Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya
yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.
2. Pembaca Pasrah
Membangun
keinginan seseoroang agar tertarik pada sastra adalah panggilan jiwa untuk
membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah
mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah tepat siswa
ditakut-takuti oleh monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis
sastra yang dihafal dan diuji benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada
estetika (bukannya efferent) adalah medium untuk menanamkan demokrasi lewat
interpretasi liar dan apresiasi jujur.
Sastra
berhubungan dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak
dapat dipisahkan karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda.
Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra
tidak ada artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang
pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers
(dalam Pradopo, 1995:208) mengatakan cakrawala harapan pembaca ditentukan oleh
tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah
dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah
dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu
kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari
harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang
kehidupan
Pembaca
sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas beberapa
tipe, yaitu the real reader (pembaca
yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat diketahui melalui reaksi-reaksi yang
terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca
ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah
diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca
kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca
idial).
1. The
Real Rreader (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca
tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah
tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra
dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca secara
khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan
mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap
cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang
sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen
masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat
tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu
rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara
sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan
pengarang.
2. Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)
a. Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca
kontemporer memiliki tiga tipe, yaitu ril, historis, dan hipotesis. Yang
ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang
hipotesis dari pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan peran pembaca yang
tersimpan dalam teks.
b. Ideal
Reader (Pembaca Idial)
Sulit
menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun
banyak yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung
muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik
berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.
Seorang
pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode pengarang.
Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum
(yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial
akan dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi,
komunikasi akan menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya
mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran
bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan
oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya
mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat
pernyatan apa pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka
lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka,
strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, disesuaikan dengan
kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka
arahkan.
Dalam
perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi
empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar);
(2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe
pembaca membawa terminologi khusus.
1. Superreader (Pembaca
Pakar)
Tipe
pembaca ini selalu muncul bersama-sama isyarat dalam teks dan dengan demikian
terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta
stilistik. Superreader mengobjektivasikan
gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap
unsur utama bahasa. Pembaca ini memberikan bukti bahwa fakta stilistik berdiri
di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang
diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.
2. Informed
Reader (Pembaca Serba Tahu)
Informed reader adalah (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa
di luar teks; (b) seseorang yang memiliki pengetahuan yang matang yang dibawa
pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang memiliki kompetensi
kesastraan.
3. Intended Reader (Pembaca Harapan)
Pembaca
tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran pengarang.
Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya
merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha
menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan
peran pembaca.
4. Implied
Reader (Pembaca Terimplikasi)
Pembaca
tipe ini memiliki konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan
merupakan sebuah konstruksi serta tidak dapat diidentifikasi dengan pembaca
nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran
seorang penerima tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami
teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi
masalah siapa pembaca itu, tetapi yang jelas pembaca tipe ini diberi tawaran
sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni peran pembaca sebagai sebuah struktur
tekstual dan peran pembaca sebagai act (tindakan/aturan)
yang terstruktur.
h)
Metode
Pendekatan Pisikologis
Pendekatan pisikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya
sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa
memperhatikan prilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia
lebih dalam maka kita membutuhkan Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba
berkaitan dengan ilmu tehnologi yang canggih ini, manusia memiliki konflik
kejiwaan yang yang bermula dari sikap tertentu yang akhirnya berpengaruh dalam
kehidupannya.
Berangkat
dari pemikiran semacam itu muncullah pendekatan Pisikologis dalam telaah
atau penelitian sastra. Para pakar pisikologis terkemuka seperti Jung, Adler,
freud, dan Brill memberikan infirasi yang cukup banyak tentang pemecahan
masalah misrteri tingkah laku manusia melalui teori-teori pisikologi.
Namun hanya Freud yang secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni
sebagai akibat dari tekanan dan tinbunan masalah dibawah alam sadar yang
kemudian disumlimasikan kedalam bentuk penciptaan karya seni pisikologi yang di
bawa oleh Freud ini disebut pisikologianalisis yang
bayank diterapkan dalam penelitian sastra lewat bpendekatan pisikologi.
d.
Esai kritik
sastra dan pembelajaran
(dalam
lampiran 2)
No comments:
Post a Comment