Perempuan yang akrab dengan Sunyi dan Kopi. Setelah mencintai Mahari, Bunga, dan Tamtam. Ada yang lebih aku cintai yaitu ular, katak dan laba-laba.- Siti Halimah

Memorabilia II


“Langit mulai bisu. Hanya warna yang ia tampakkan saat aku mulai menyapa rindu. Tapi sayang ketika mata tak bisa lagi lama menatap langit—aku mulai rindu. Rindu menatapnya.  Pun langit saat ini yang tak menampakkan warnanya. Hanya bintang dan bulan yang menghiasinya dalam kegelapan. Aku mecoba berpaling pada bintang dan berpaling pada bulan untuk memulihkan penglihatanku, tapi lagi-lagi mataku tak bisa menatap lama.”
“Nak, bagaimana matamu. Apakah sudah baik sekarang?”tanya ayah sembari menghampiriku.
Ayah yang selalu khawatir dengan keadaan mataku. Dan aku tak bisa  menjawab—aku tak bisa memberikannya penjelasan tentang mataku yang sering lelah hingga menimbulkan sakit kepala yang berlebih. Aku tak mau merepotkannya.
Malam itu, aku sedang terbaring. Terbaring menatap lampu kamar yang mulai redup dalam penglihatanku. Ah, apa yang terjadi dengan mata yang semakin hari semakin tak menampakkan keindahan dipenglihatanku. Aku mencoba menarik ujung selimut dan menutupkannya ke seluruh bagian kepalaku untuk menghindari rasa sakit. Karena saat itu mataku mulai lelah, mataku tak kuat melihat radiasi yang menjadi objek setiap hariku ketika aku menulis.  Jika ini terus berkepanjangan, tidak ... hal ini tidak akan aku biarkan terjadi pada mataku kerena mataku salah satu teman dalam menulisku, tanpanya aku tak bisa melihat bagaimana menyusun alpabet—keindahan tulisanku. Sejak saat itulah aku sering mengompres mataku. 
“Sudah berapa kali kau mengomprenya di hari ini Nak,”tanya ayah lagi yang mulai terus bertanya jika tak di jawab.
Lagi-lagi aku diam. Diam tak menjawabnya. Bukan karena aku tak terima dengan sakit yang kurasakan ini. Tapi karena suara Ayah. Suara Ayah yang penuh perhatian. Ia selalu membuatku menangis, bukan menangis karena ia selalu menyakitiku tapi aku selalu menangis karena rasa sayangnya terhadapku. Tak bisa kugambarkan dengan apapun tapi ia tetap subuh. Ia adalah subuh, memberikan aku ketenangan yang sesungguhnya. Ia adalah putih karena ikhlas yang ia suguhkan padaku.  Seluruh tubuhku masih kututupi dengan selimut.  Aku berpura-pura sudah tidur saja malam itu.
*
Aku ingat malam kemarin. Malam yang selalu menjadi aktivitas Ayah memasuki kamarku. Seperti malam ini. Malam itu juga Ayah ke kamar. Ia membawa kompresan untuk mengompres mataku.  Sebenarnya aku juga sudah tidur malam itu, tapi ketika ayah datang ke kamarku dan mengompres mataku—aku terbangun dan pura-pura tertidur lagi saja. Ayah dan aku adalah orang yang tidak mau ribet, apalagi masalah sepele seperti ini, yaitu mengompres  mata setiap tiga kali sehari. 
“Kau cepat sembuh Nak, lanjutkan kerangka itu,”Ucap ayah malam itu. ketika  Ia mengompres mataku.
**
Ayah adalah senja yang sempat kuliahat dalam mimpi. Ia adalah muara dari segala hal yang membuat aku tak pernah lelah. Sebab, segala rasa kasih dan sayangnya. Ia adalah batu yang tak akan aku kubur di tanah. Tapi ia adalah batu yang akan aku semayamkan dalam hati hingga kau kembali pada keabadian yaitu kembali pada-Nya.
Kerangka ini akan aku selesaikan hingga nafas mulai menjadi es. Kerangka ini akan aku bukukan hanya untukmu seorang, ayah—sampai aku kembali kepada keabadian nanti.
Aku tak senang ketika Ayah memberiku rekening. Aku tak senang ketika Ayah   membiarkanku menikmati yang aku inginkan. Ketika Ayah berkata “semua yang bapak lakukan demi masa depanmu, Nak.” Tidak. Aku tidak senang jika Ayah terlalu memanjakanku. Tapi apakah kau tahu ayah dari mana aku menemukan subuh dan putih itu? darimu—dari perhatianmu, dari kasih sayangmu dan dari lelahmu yang kau sembunyikan dariku.
Dan kau tahu Ayah. Ketika sebuah kata sering kau ucapkan—ketika itu pula aku menangis. Menangis ketika aku takut tidak membahagiakanmu.
“Sebab, Ayah tidak mau meniggalkanmu dalam keadaan yang tidak tahu—raihlah cita-citamu.”Pesan ayah setiap kami cerita.
***
Kemarin, kini dan nanti adalah nadi untukmu. Nadi yang memberikan kehidupan kecil dalam keberkahan kasih sayang. Ia adalah muara dari segala muara; tahu apa yang aku lakukan—yang ingin aku lakukan—yamg sedang aku lakukan. Ia sering mengajakku berdiskusi tentang kehidupan hingga mengajakku bergadang. Ia pernah bercerita padakku.”Bapak, suka diskusi Nak, maka dari itu Bapak sering mengajakmu diskusi hingga larut malam seperti ini.”ucapnya kala itu—ketika aku pulang malam.
Malam itu ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, ketika aku pulang malam. “ Ada kegiatan apa Nak, sampai pulangnya larut malam?,”tanyanya menghampiriku ke kamar.
Ia selalu bertanya seperti itu meskipun sebelumnya aku sudah cerita  ada kegiatan  di kampus dan akan pulang sore. Itulah ia yang selalu ingin tahu—aku tahu ia memancingku untuk bercerita—bercerita tentang apa yang aku lakukan tadi pagi hingga malam.
Setiap malam, Ia sering ke kamarku—ia sering diam di ruang tamu. Aku tahu ia menungguku untuk cerita apa yang aku lakukan seharian tadi. Hingga pada akhirnya aku selalu menceritakan kalian dan mereka—tidak untuk kau yang menjadi rahasia-Nya, sebab ia masih mengajariku untuk belajar. Dari aku SD-Perguruan Tinggi ia tak pernah bosan mengajariku belajar, belajar, dan belajar. Ia yang berarti  untuk vitamin tulangku, ia yang selalu menegakkan aku dikala aku mulai lemah.  
*

Aku ingat lagi malam itu... malam ketika hujan mulai saling  mengenal. Saat perjalananku dan ia menantang maut dan hampir saja kami tak bisa melanjutkan perjuangan kami di bumi-Nya ini.  Sulit untuk kuceritakan kejadian itu, sebab itu adalah memorabilia tentang malam yang mulai kukubur. Karenanya ... sebab, aku mulai mengaplikasikan tentangnya.
Jika permainan monopoli itu menjadi sebuah permainan nyata maka satu-satunya orang yang  akan kuajak pertama untuk keliling dunia adalah ia, menghabiskan masa senjanya hanya dengan kebahagiaan.
Ah, tapi sangat disayangkan ketika ia tak pernah menjadi lawanku dalam permainan catur. Baginya bermain catur itu membikin sakit kepala, dan membuatnya tak menemukan jalan pintas hingga akhirnya hanya dengan empat langkah saja ia sering skak hingga permainan selesai dalam satu babak. Berbeda denganku, bagiku permainan catur itu membikin aku untuk tidak menyerah mencari jalan, walau kepala sering sakit dan ujung-ujungnya aku harus istirahat tapi bagiku hal itu sangat menarik untuk membelitkan otak—banyak hal yang bisa kujadikan pelajaran dari permainan catatur itu: belajar bersabar, tak pernah menyerah untuk berfikir dan masih banyak lagi hal. Untuk melangkahkan satu anak saja harus dipikirkan matang-matang agar raja tidak menjadi buronan para kuda, benteng, kuncung dan terlebih patih yang bisa melangkah kemana saja—sesukanya. Itulah kami—kami yang memiliki perbedaan.
Banyak ibarat yang sangat kuelu-elukan tentangnya. Tapi sayang ia tidak pernah mendengar hal ini. Bahkan ia tidak tahu tentang aksaraku yang mulai bersayap karenanya—karena ia satu dari sumber inspirasiku.
Jika sebelum hakku diambil oleh-Nya maka satu permintaan yang ingin aku utarakan dengan suatu perkataan padanya—yang saat ini belum pernah aku utarakan. “Ayah,  aku sangat menyayangimu seperti aku menyayangi aksaraku. Aku menyayangimu seperti aku dalam sikap diamku. Sebab... kau adalah subuh yang tak akan pernah kugantikan dengan malam, kau adalah ketenangan yang tak akan pernah kugantikan dengan apapun—meski aku harus kembali sebelummu—aku ikhlas”.   
Terlalu banyak ceritaku dengan ayah, terlalu banyak cerita yang ingin ku ungkapkan kepada ayah. Tapi, cukuplah certa itu menjadi cerita unntuk nanti—nanti setelah aku dalam keabadian.
Lagi-lagi ayah cerita ...“Ketika di rumah sulit sekali untuk menjatuhkan air mata; sulit sekali untuk mengingat mati—meski Bapak ingat dosa dan ingin menangis. Tapi entahlah Nak, Ketika di sana (mekkah), Ayah tak pernah rihat menjatuhkan air mata, menangis kerena dosa, menangis karena ingat mati, dan Ayah selalu  ingat kalian,”Katanya yang tak pernah berhenti cerita, ketika ia pulang—sampai saat ini.
“Ayah ingin ke sana lagi, Nak.” Harapnya mulai menggebu.
 “Nanti Ayah, kita bersama-sama mencium hajar aswad-Nya lagi— Insya Allah,” lirihku dalam hati. 
Betapa istimewanya rumah kekasih-Mu itu, hingga Ayah tak pernah berhenti  membicarakan-Mu. Oh,  Allah ...  sempatkan kami untuk besujud di rumah kekasih-Mu lagi , pun Ayah.
Ayah selalu membikin aku untuk merenung. Merenung tentang hidup. Ia adalah motivator pertamaku. Mendengar cerita Ayah, aku semakin ingin ke sana. Ia sering bercerita. Bahkan ke inginannya selalu ia ceritakan pada kami.
Cerita  Ayah yang tak pernah kunjung usai.
“Ah Ayah, engkau  membikin aku untuk selalu membahagiakanmu”,Ucapku sambil meutup buku catatanku dan beranjak ke kamar mandi.
Tak akan habis sampai waktu menjadi pancaran yang menyapa rindu. Rindu ayah yang selalu kurangkai dalam aksara. Terlalu banyak jika sang penulis kehidupan membiarkanku menuliskan tentang ayah yang tak akan usai. Dan tak akan pernah usai sampai keabadian merangkak dalam ingatan.
Langit semakin menampakkan semangat yang menggebu tentang rindu dan ayah. “Din, ayo kita berangkat. Lihat matahari yang ada disana. Matahari itu mengajak kita untuk cepat-cepat pergi ke sekolah.”









No comments:

Post a Comment

BERBAHASA SEJAK LAHIR

  BERBAHASA SEJAK LAHIR :Siti Halimah   “Terdapat banyak bukti bahwa manusia memiliki warisan biologi yang sudah ada sejak lahir berup...