“Langit mulai bisu.
Hanya warna yang ia tampakkan saat aku mulai menyapa rindu. Tapi sayang ketika
mata tak bisa lagi lama menatap langit—aku mulai rindu. Rindu menatapnya. Pun langit saat ini yang tak menampakkan
warnanya. Hanya bintang dan bulan yang menghiasinya dalam kegelapan. Aku mecoba
berpaling pada bintang dan berpaling pada bulan untuk memulihkan penglihatanku,
tapi lagi-lagi mataku tak bisa menatap lama.”
“Nak,
bagaimana matamu. Apakah sudah baik sekarang?”tanya ayah sembari menghampiriku.
Ayah
yang selalu khawatir dengan keadaan mataku. Dan aku tak bisa menjawab—aku tak bisa memberikannya
penjelasan tentang mataku yang sering lelah hingga menimbulkan sakit kepala
yang berlebih. Aku tak mau merepotkannya.
Malam
itu, aku sedang terbaring. Terbaring menatap lampu kamar yang mulai redup dalam
penglihatanku. Ah, apa yang terjadi dengan mata yang semakin hari semakin tak
menampakkan keindahan dipenglihatanku. Aku mencoba menarik ujung selimut dan
menutupkannya ke seluruh bagian kepalaku untuk menghindari rasa sakit. Karena
saat itu mataku mulai lelah, mataku tak kuat melihat radiasi yang menjadi objek
setiap hariku ketika aku menulis. Jika
ini terus berkepanjangan, tidak ... hal ini tidak akan aku biarkan terjadi pada
mataku kerena mataku salah satu teman dalam menulisku, tanpanya aku tak bisa
melihat bagaimana menyusun alpabet—keindahan tulisanku. Sejak saat itulah aku
sering mengompres mataku.
“Sudah
berapa kali kau mengomprenya di hari ini Nak,”tanya ayah lagi yang mulai terus
bertanya jika tak di jawab.
Lagi-lagi
aku diam. Diam tak menjawabnya. Bukan karena aku tak terima dengan sakit yang
kurasakan ini. Tapi karena suara Ayah. Suara Ayah yang penuh perhatian. Ia
selalu membuatku menangis, bukan menangis karena ia selalu menyakitiku tapi aku
selalu menangis karena rasa sayangnya terhadapku. Tak bisa kugambarkan dengan
apapun tapi ia tetap subuh. Ia adalah subuh, memberikan aku ketenangan yang
sesungguhnya. Ia adalah putih karena ikhlas yang ia suguhkan padaku. Seluruh tubuhku masih kututupi dengan
selimut. Aku berpura-pura sudah tidur
saja malam itu.
*
Aku
ingat malam kemarin. Malam yang selalu menjadi aktivitas Ayah memasuki kamarku.
Seperti malam ini. Malam itu juga Ayah ke kamar. Ia membawa kompresan untuk mengompres
mataku. Sebenarnya aku juga sudah tidur
malam itu, tapi ketika ayah datang ke kamarku dan mengompres mataku—aku
terbangun dan pura-pura tertidur lagi saja. Ayah dan aku adalah orang yang
tidak mau ribet, apalagi masalah sepele seperti ini, yaitu mengompres mata setiap tiga kali sehari.
“Kau
cepat sembuh Nak, lanjutkan kerangka itu,”Ucap ayah malam itu. ketika Ia mengompres mataku.
**
Ayah
adalah senja yang sempat kuliahat dalam mimpi. Ia adalah muara dari segala hal
yang membuat aku tak pernah lelah. Sebab, segala rasa kasih dan sayangnya. Ia
adalah batu yang tak akan aku kubur di tanah. Tapi ia adalah batu yang akan aku
semayamkan dalam hati hingga kau kembali pada keabadian yaitu kembali pada-Nya.
Kerangka
ini akan aku selesaikan hingga nafas mulai menjadi es. Kerangka ini akan aku
bukukan hanya untukmu seorang, ayah—sampai aku kembali kepada keabadian nanti.
Aku
tak senang ketika Ayah memberiku rekening. Aku tak senang ketika Ayah membiarkanku menikmati yang aku inginkan.
Ketika Ayah berkata “semua yang bapak lakukan demi masa depanmu, Nak.” Tidak.
Aku tidak senang jika Ayah terlalu memanjakanku. Tapi apakah kau tahu ayah dari
mana aku menemukan subuh dan putih itu? darimu—dari perhatianmu, dari kasih
sayangmu dan dari lelahmu yang kau sembunyikan dariku.
Dan
kau tahu Ayah. Ketika sebuah kata sering kau ucapkan—ketika itu pula aku
menangis. Menangis ketika aku takut tidak membahagiakanmu.
“Sebab,
Ayah tidak mau meniggalkanmu dalam keadaan yang tidak tahu—raihlah
cita-citamu.”Pesan ayah setiap kami cerita.
***
Kemarin,
kini dan nanti adalah nadi untukmu. Nadi yang memberikan kehidupan kecil dalam
keberkahan kasih sayang. Ia adalah muara dari segala muara; tahu apa yang aku
lakukan—yang ingin aku lakukan—yamg sedang aku lakukan. Ia sering mengajakku
berdiskusi tentang kehidupan hingga mengajakku bergadang. Ia pernah bercerita
padakku.”Bapak, suka diskusi Nak, maka dari itu Bapak sering mengajakmu diskusi
hingga larut malam seperti ini.”ucapnya kala itu—ketika aku pulang malam.
Malam itu ketika jam sudah menunjukkan
pukul 21.00 WIB, ketika aku pulang malam. “ Ada kegiatan apa Nak, sampai
pulangnya larut malam?,”tanyanya menghampiriku ke kamar.
Ia selalu bertanya seperti itu
meskipun sebelumnya aku sudah cerita ada
kegiatan di kampus dan akan pulang sore.
Itulah ia yang selalu ingin tahu—aku tahu ia memancingku untuk
bercerita—bercerita tentang apa yang aku lakukan tadi pagi hingga malam.
Setiap malam, Ia sering ke
kamarku—ia sering diam di ruang tamu. Aku tahu ia menungguku untuk cerita apa
yang aku lakukan seharian tadi. Hingga pada akhirnya aku selalu menceritakan
kalian dan mereka—tidak untuk kau yang menjadi rahasia-Nya, sebab ia masih
mengajariku untuk belajar. Dari aku SD-Perguruan Tinggi ia tak pernah bosan
mengajariku belajar, belajar, dan belajar. Ia yang berarti untuk vitamin tulangku, ia yang selalu
menegakkan aku dikala aku mulai lemah.
*
Aku ingat lagi malam itu... malam
ketika hujan mulai saling mengenal. Saat
perjalananku dan ia menantang maut dan hampir saja kami tak bisa melanjutkan
perjuangan kami di bumi-Nya ini. Sulit
untuk kuceritakan kejadian itu, sebab itu adalah memorabilia tentang malam yang
mulai kukubur. Karenanya ... sebab, aku mulai mengaplikasikan tentangnya.
Jika permainan monopoli itu menjadi
sebuah permainan nyata maka satu-satunya orang yang akan kuajak pertama untuk keliling dunia
adalah ia, menghabiskan masa senjanya hanya dengan kebahagiaan.
Ah, tapi sangat disayangkan ketika
ia tak pernah menjadi lawanku dalam permainan catur. Baginya bermain catur itu
membikin sakit kepala, dan membuatnya tak menemukan jalan pintas hingga
akhirnya hanya dengan empat langkah saja ia sering skak hingga permainan
selesai dalam satu babak. Berbeda denganku, bagiku permainan catur itu membikin
aku untuk tidak menyerah mencari jalan, walau kepala sering sakit dan
ujung-ujungnya aku harus istirahat tapi bagiku hal itu sangat menarik untuk
membelitkan otak—banyak hal yang bisa kujadikan pelajaran dari permainan
catatur itu: belajar bersabar, tak pernah menyerah untuk berfikir dan masih
banyak lagi hal. Untuk melangkahkan satu anak saja harus dipikirkan
matang-matang agar raja tidak menjadi buronan para kuda, benteng, kuncung dan
terlebih patih yang bisa melangkah kemana saja—sesukanya. Itulah kami—kami yang
memiliki perbedaan.
Banyak ibarat yang sangat
kuelu-elukan tentangnya. Tapi sayang ia tidak pernah mendengar hal ini. Bahkan
ia tidak tahu tentang aksaraku yang mulai bersayap karenanya—karena ia satu
dari sumber inspirasiku.
Jika sebelum hakku diambil oleh-Nya
maka satu permintaan yang ingin aku utarakan dengan suatu perkataan
padanya—yang saat ini belum pernah aku utarakan. “Ayah, aku sangat menyayangimu seperti aku
menyayangi aksaraku. Aku menyayangimu seperti aku dalam sikap diamku. Sebab...
kau adalah subuh yang tak akan pernah kugantikan dengan malam, kau adalah
ketenangan yang tak akan pernah kugantikan dengan apapun—meski aku harus
kembali sebelummu—aku ikhlas”.
Terlalu banyak ceritaku dengan
ayah, terlalu banyak cerita yang ingin ku ungkapkan kepada ayah. Tapi, cukuplah
certa itu menjadi cerita unntuk nanti—nanti setelah aku dalam keabadian.
Lagi-lagi
ayah cerita ...“Ketika di rumah sulit sekali untuk menjatuhkan air mata; sulit
sekali untuk mengingat mati—meski Bapak ingat dosa dan ingin menangis. Tapi
entahlah Nak, Ketika di sana (mekkah), Ayah tak pernah rihat menjatuhkan air
mata, menangis kerena dosa, menangis karena ingat mati, dan Ayah selalu ingat kalian,”Katanya yang tak pernah
berhenti cerita, ketika ia pulang—sampai saat ini.
“Ayah
ingin ke sana lagi, Nak.” Harapnya mulai menggebu.
“Nanti Ayah, kita bersama-sama mencium hajar
aswad-Nya lagi— Insya Allah,” lirihku dalam hati.
Betapa
istimewanya rumah kekasih-Mu itu, hingga Ayah tak pernah berhenti membicarakan-Mu. Oh, Allah ...
sempatkan kami untuk besujud di rumah kekasih-Mu lagi , pun Ayah.
Ayah
selalu membikin aku untuk merenung. Merenung tentang hidup. Ia adalah motivator
pertamaku. Mendengar cerita Ayah, aku semakin ingin ke sana. Ia sering
bercerita. Bahkan ke inginannya selalu ia ceritakan pada kami.
Cerita Ayah yang tak pernah kunjung usai.
“Ah
Ayah, engkau membikin aku untuk selalu membahagiakanmu”,Ucapku
sambil meutup buku catatanku dan beranjak ke kamar mandi.
Tak
akan habis sampai waktu menjadi pancaran yang menyapa rindu. Rindu ayah yang
selalu kurangkai dalam aksara. Terlalu banyak jika sang penulis kehidupan
membiarkanku menuliskan tentang ayah yang tak akan usai. Dan tak akan pernah
usai sampai keabadian merangkak dalam ingatan.
Langit
semakin menampakkan semangat yang menggebu tentang rindu dan ayah. “Din, ayo
kita berangkat. Lihat matahari yang ada disana. Matahari itu mengajak kita untuk
cepat-cepat pergi ke sekolah.”
No comments:
Post a Comment