Nadi#1
:Ayah...
Ia adalah muara dari segala muara;
tahu apa yang aku lakukan—yang ingin aku lakukan—yamg sedang aku lakukan. Ia
sering mengajakku berdiskusi tentang kehidupan hingga mengajakku bergadang. Ia
pernah bercerita padakku.”Bapak, suka diskusi Nak, maka dari itu bapak sering
mengajakmu diskusi hingga larut malam seperti ini.”ucapnya kala itu—ketika aku
pulang malam.
Malam itu ketika jam sudah menunjukkan
pukul 21.00 Wib, ketika aku pulang malam. “ Ada kegiatan apa Nak, sampai
pulangnya larut malam?,”tanyanya menghampiriku ke kamar.
Ia selalu bertanya seperti itu
meskipun sebelumnya aku sudah cerita ada
kegiatan di kampus dan akan pulang sore.
Itulah ia yang selalu ingin tahu—aku tahu ia memancingku untuk
bercerita—bercerita tentang apa yang aku lakukan tadi pagi hingga malam.
Setiap malam, Ia sering ke kamarku—ia
sering diam di ruang tamu. Aku tahu ia menungguku untuk cerita apa yang aku
lakukan seharian tadi. Hingga pada akhirnya aku selalu menceritakan kalian dan
mereka—tidak untuk kau yang menjadi rahasia-Nya, sebab ia masih mengajariku
untuk belajar. Dari aku SD-Perguruan Tinggi ia tak pernah bosan mengajariku
belajar, belajar, dan belajar. Ia yang berarti untuk vitamin tulangku, ia yang selalu
menegakkan aku dikala aku mulai lemah.
...
Aku ingat lagi malam itu... malam
ketika hujan mulai saling mengenal. Saat
perjalananku dan ia menantang maut dan hampir saja kami tak bisa melanjutkan perjuangan
kami di bumi-Nya ini. Sulit untuk
kuceritakan kejadian itu, sebab itu adalah memorabilia tentang malam itu mulai
kukubur....
...
Karenanya ... sebab, aku mulai
mengaplikasikan tentangnya...
Jika permainan monopoli itu menjadi
sebuah permainan nyata maka satu-satunya orang yang akan kuajak pertama untuk keliling dunia
adalah ia, menghabiskan masa senjanya hanya dengan kebahagiaan.
Ah, tapi sangat disayangkan ketika ia
tak pernah menjadi lawanku dalam permainan catur. Baginya bermain catur itu membikin
sakit kepala, dan membuatnya tak menemukan jalan pintas hingga akhirnya hanya
dengan empat langkah saja ia sering skak hingga permainan selesai dalam satu
babak. Berbeda denganku, bagiku permainan catur itu membikin aku untuk tidak
menyerah mencari jalan, walau kepala sering sakit dan ujung-ujungnya aku harus
istirahat tapi bagiku hal itu sangat menarik untuk membelitkan otak—banyak hal
yang bisa kujadikan pelajaran dari permainan catatur itu: belajar bersabar, tak
pernah menyerah untuk berfikir dan masih banyak lagi hal. Untuk melangkahkan
satu anak saja harus dipikirkan matang-matang agar raja tidak menjadi buronan
para kuda, benteng, kuncung dan terlebih patih yang bisa melangkah kemana saja—sesukanya.
Itulah kami—kami yang memiliki perbedaan.
Banyak ibarat yang sangat kuelu-elukan
tentangnya. Tapi sayang ia tidak pernah mendengar hal ini. Bahkan ia tidak tahu
tentang aksaraku yang mulai bersayap karenanya—karena ia satu dari sumber
inspirasiku.
Jika sebelum hakku diambil oleh-Nya
maka satu permintaan yang ingin aku utarakan dengan suatu perkataan
padanya—yang saat ini belum pernah aku utarakan. “Pak, aku sangat menyayangimu seperti aku menyayangi
aksaraku. Aku menyayangimu seperti aku dalam sikap diamku. Sebab... kau adalah
subuh yang tak akan pernah kugantikan dengan malam, kau adalah ketenangan yang
tak akan pernah kugantikan dengan apapun—meski aku harus kembali sebelummu—aku
ikhlas”.
...
No comments:
Post a Comment