Perempuan yang akrab dengan Sunyi dan Kopi. Setelah mencintai Mahari, Bunga, dan Tamtam. Ada yang lebih aku cintai yaitu ular, katak dan laba-laba.- Siti Halimah

DUA PEREMPUAN BERMATA CINTA

                                                                                  Siti Halimah


: Helvy (1) dan Asma (2)


Kau (1) yang menuliskan:
'cinta tanpa musim itu member
                                nafas dan sayap pada beribu puisi abadi tentang kita'.

 Dan kau (2) yang menuiskan:
'cinta dipersimpangan keyakinan'

Keduanya membikin cinta.

Lalu, aku menatap rintik hujan yang sesaat menepa pepohon
Sesaat lagi menatap kursi yang kosong.
Aku mulai terjaga; Aku juga kesepian.
Mulai kususri ruangan kosong yang ada dalam kamarku
Mata tertunduk menemukan untaian kata bermata cinta
Lembara-lembaran tertulis Mata Ketiga Cinta
dan sebuah Catatan Hati ada mata cinta yang tertulis didalamnya.

Merekahlah mata yang mulai semu akan cinta.
Perlahan aku memegang pena dan membuka buku setelahnya.
Lalu aku menulis:

Aku menemukan lagi cinta dari dua perempuan bermata cinta.


Cianjur, 2017



*Puisi ini dipersembahkan untuk Bunda Helvy dan Mbak Asma Nadia yang sedang bertambah usianya.






 

BUKAN NENEK LOBI-LOBI


Hari ini, ditanggal 13Maret 2017 tepat pukul 13.24. Saya ingin berbicara tentang Saya. Ya, tentang Saya yang sedang kalut dengan diri sendiri. Awalnya Saya akn membicarakan tentang Nenek Lobi-Lobi yang diceritakan anak-anak dua hari yang lalu, tapi Saya berubah pikiran. Hari ini, bahkan sejak tiga bulan yang lalu, rasanya tak ada ruang untuk Saya berpikir tentang tidur, makan lalu jalan-jalan. Saya masih belum paham apa yang terjadi dengan Saya akhir-akhir ini. Saya merasa berada dalam jurang yang sempit-sempit dan teramat sungkan untuk disapa. 

Setiap hari Saya harus tidur dan bangun tidur dengan memikirkan pekerjaan yang belum selesai, setelah selesai Saya harus menyelesaikan yang lainnya. Tidak ada sedetikpun Saya untuk bebas meluangkan waktu berpikir yang Saya mau; jalan-jalan, makan-makan atau sekadar nongkrong. kali ini saya selalu berpikir dua kali untuk melakukan hal itu. seperti ini, ada yang lebih manfaat dari pada itu, ada yang lebih harus sayakehakan daripada itu. Ya, pikiran saya menolak untuk melakukan hal yang ingin Saya lakukan. Keadaan yang memaksa dan Saya hanya belum biasa saja. Saya hanya mengandalkan waktu yang memang bisa Saya tangani seperti hari ini juga: di sela megajar saya membaca, di sela memeriksa soal atau membuat soal Saya menulis. dan hari ini saja Saya menulis cerita ngaco ini di sela pekerjaan yang sebegitu banyaknya menunggu. Barangkali Saya belum paham dengan kesibukan yang Allah beri. 

Sesekali saya ingin mengerjakan pekerjaan Saya sebagai murid, guru, anak, kakak, adik, teman, tante, bahkan sebagai orang yang dibutuhkan orang. Tapi, lagi, Saya tidak bisa melaksanakan itu dengan bersamaan. Saya manusia yang penuh dengan keterbatasan. Hingga akhirnya otak Saya yang memikirkan semua itu.

Hari-hari Saya seperti ini. Ya, Saya menyempatkan menulis blog ini saja karena mencuri waktu disiang yang sangat terik, Setelah pulang mengawas Ujian Tengah Semester Genap, setelah menghentikan aktifitas saya untuk memeriksa hasil ujian di perpustakaan daerah. Saya senang ditempat ini, sunyi, tak perlu menyapa banyak orang dan tak perlu basa-basa basi. Hanya saja Saya harus sedikit sabar, dan berpikir keras untuk menghabiskan buku yang ada di sini. Banyak buku yang Saya sapa tapi mereka tak menjawab. Saya harus sabar dan berpikir keras untuk mereka menyapa otak Saya. Tanpa Saya membaca mereka, saya tak aka pernah mengenal. Sudah hampir sebulan saya tidak mampir ke tempat ini lagi-lagi karena kesibukan.

Apapun keadaan yang mulai saya segani sekarang, semoga  terbiasa menghadapi ini. dan tetap selalu membaca dan selalu menulis. 

*Tunggu cerita saya tentang Nenek Lobi-Lobi ya!


CATATAN BELAJAR

Ya, aku akan tetap jadi murid selamanya. Se-apapun aku mesti perlu belajar lebih dari kehidupan ini.

WARAS DAN SASTRA SORE-SORE

Foto diambil dilapangan Prawatasari.

Kami masih mencintai sastra sampai sekarang, sampai nanti— di segala waktu yang tercipta.

Sastra sore-sore adalah kegiatan yang sering kami lakukan di sela sore, membaca puisi, musikalisasi puisi, lalu dilanjutkan berdiskusi. Tema sastra sore ini adalah  bahasa ibu, bahasa paling merdu dengan pemateri Yopi Maulana Hasanudin eks-ketua WARAS juga seorang mapia S2 UNSUR Cianjur, kemudian pengantar sastra sore dibuka oleh Iyan Sopian penyair cianjur yang karyanya sering muat diberbagi media masa, dan seorang komika WARAS. Ada beberapa lakon yang terlibat pada acara sastra sore-sore dan menjadi pengisi acara di antaranya Zetira, Nci, Gagas, Dilah, Nurlia, Uex dan Nasreen H. Azbiah seorang proklamator blog cerita yang kalian baca. Di samping itu, ada sekitar 1000 tiket habis terjual dan penikmat sastra memenuhi lapang prawatasari untuk menyaksikan pertunjukan WARAS dan berdiskusi tentang materi bahasa merdu. Namun sayangnya, para pembeli tiket masih tertinggal dimimpi saya semalam.

seperti yang telah disampaikan di awal cerita. Tema kali ini adalah bahasa ibu, bahasa paling merdu: memiliki arti paling baik mengandung doa dan petuah. Sejak lahir kita diajarkan berbahasa dan telaten hingga membenahi bahasa sumbang yang terucapkan sampai benar-benar paham dan mengerti cara menangkap atau mengutarakan bahasa.

Berawal dari sebuah postingan. Ya, berawal dari postingan anggota WARAS untuk melaksanakan kegiatan yang terjadi di lapang prawatasari. Tapi saya yakin bukan sekadar postingan, tapi ada rindu yang tercipta.


Saat itu saya juga lagi rindu kepalang, setelah menikmati kesibukan yang keterlaluan. Pada akhirnya kesibukan menyatukan kami di sastra sore-sore akhir februari kemarin. Bagi kami bertemu adalah memperpanjang KTP akhirat, bersastra adalah cinta yang mempertemukan kita dan semua lahir dari Ibu. Seperti halnya bahasa ibu adalah bahasa yang paling merdu, dan Waras yang lahir dari Ibu segala waktu. 

Nanti saya lanjutkan ceritanya berhubung ini sudah menunjukkan pukul 03.00. Beberapa hari kemarin setelah acara sore-sore saya istirahat penuh, dan harus mengerjakan hal lain. 


Info  FB, Instagram WARAS kalian bisa buka link dibawah ini.



Tentang Carla



Aku tidak ingin berdamai dengan hujan. Aku tidak akan menyerah karena hujan Turun. Hingga hujan akan berlalu dan bajuku akan kering lagi. Aku membaca buku Carla Van Raay yang berjudul sebuah memoar Gods Callgirl Sang Pelacur Tuhan. Aku tidak tega kalau harus meneruskan kisahnya, itu terlalu sakit. Apalagi membuatkan resensi, aku masih lemah iman. Dalam buku, Carl mengatakan bahwa kehebatan dari para birawati adalah dokrin tentang kemahatahuan Tuhan. Pikiranku begitu sulit dimengerti, aku berlumur malas atas pikiranku. Bahkan sempat berpikir ingin mati karena malas. Lagian, jika semua orang berpikir seperti anak kecil katolik yang menebus dosa dengan tiga cara bahwa— setiap dosa pasti diampuni, kedua ada hukuman yang diterapkan pada ddiri sendiri, dan ketiga ada ejakulasi. Aku akan berdoa lebih dulu untuk mati. Dia takut mati, karena ia takut langsung masuk neraka. Aku berumur dua puluh tiga tahun dan tak tahu apa yang lebih baik menurutku, karena semua yang terbaik ada di Tuhan. Doanya terjawab— ia bertahan hidup.

Awalnya, aku datang untuk mengunjungi Nibiru, tapi ia masih tidak bisa diganggu. Dan aku melawan hujan, membiarkan jaket dan syalku kebahasan—aku kedinginan. Hujan membiarkanku menikmatinya, belajar dari Carla tentang dosa, Allahu Akbar. Ya, aku tidak seyakin Carla ketika dia menolak mati dari kecil karena pasti masuk neraka, aku tidak tahu di mana Tuhan akan memberikanku tempat nanti. Tapi aku dengan perngharapan adalah syurga.  
Deepak Chopra menyatakan bahwa hanya keintiman dengan diri sendiri yang akan membawakan penyembuhan yang sejati. Aku yang kini menyayangi diriku sendiri, artinya adalah bebas untuk merasakan apa yang datang untuk dirasakan.
Meskipun Carla merasakan luka dan mengakuinya, lalu ia berhasil keluar, hingga harus berbicara dosa dirinya sendiri melalui buku. Ini piihannya. Allah, ini semua milikMu. Jika aku melakukan dosa saja dan tanpa berbuat baik, matikan saja aku tanpa harus mendengarkan Carla. Aku dan Carla beda.

Selagi aku berpikir tentang Carla dan asyik dengan bukunya. Ponselku berdering, tak berapa lama ada dua pemuda yang menghampiriku. Nyatanya mereka yang lebih paham tentang cinta. Aku tidak tahu bagaimana dua pemuda ini jika kuajak berpikir tentang dosa. Karena 100% dari dosa, 90% dari itu adalah cinta yang belum halal, Tuhan yang lebih tahu tentang ini. Lagi-lagi aku ingin Tuhan menjaga rasa ini hingga aku bertemu jodohku nanti. Karena sebelum kita berjodohpun aku lebih dulu mencintaimu. Entah, apakah pikiranku yang maya ini adalah dosa. Dan lagi aku melanjutkan perjalanan tanpa menyerah pada hujan.

Lagi, aku belum paham dengan pikiranku. Kenapa aku terlalu senang mencintai orang yang tak pernah mencintaiku, semisal mencintai Mahari, sunyi, kopi, tamtam, katak, ular dan labalaba. Sedikitpun mereka tak pernah mencintaiku. Entah, apakah ini disebut dosa? se-apapun itu aku seyakin Carla namun bukan persoalan kematian, tapi soal cintaku pada Allah. Kenapa kesenanganku ada pada mereka. Ya, karena mereka milikMu—dan aku mencintainya sebabMu. Biarpun Carla pernah menjadi anak kecil katolik, itu urusan dia dengan TuhanNya.   

ESAI

 “di Depan Hukum” Karya Franz Kafka
Telaah Stilistika
:Siti Halimah


"Tak ada orang lain yang mungkin diizinkan masuk ke sini karena pintu ini dibikin hanya untukmu. Sekarang aku harus menutupnya."

Sedikit kutipan yang mengantarkan kita pada gerbang cerita unik Franz Kafka yang akan ditelaah stilistika. Sehabis membaca cerpen “Di depan Hukum” karya Franz Kafka ini yang saya dapatkan dalam blog Eka Kurniawan sebagai penerjemah dari cerpen tersebut, timbul berbagai kesan yang saya alami setelah membacanya  dan salah satu kesan  yang luar biasanya adalah saat pernyataan-perrnyataan filosopis yang terdapat dalam dialog cerpen tersebut, dan  uniknya dalam cerpen tersebut bukan hanya berhari-hari orang desa itu menunggu dibukakannya pintu pengadilan, tapi hingga bertahun-tahun ia tetap teguh menunggu penjaga pintu itu membukakan pintu pengadilan.
Masih dalam esainya Eka kurniawan:  “Kafkaesque” digunakan untuk menyebut suasana keterasingan dan dislokasi yang dialami oleh individu dalam masyarakatnya. Misalnya dalam esai berjudul “The Labyrinths of the Detective Story and Chesterton”, ia tanpa sungkan membuka esainya dengan satu spekulasi: bahwa orang Inggris hidup dengan dua hasrat yang tak nyambung, yakni gairah aneh untuk bertualang dan gairah aneh untuk legalitas. Saya rasa, esai semacam itu tak hanya membutuhkan ketekunan membaca, ketelitian mencerna dan menganalisa, tapi juga  keberanian menarik kesimpulan.
Sastrawan kelahiran Praha yang menulis dalam bahasa jerman dan oleh para kritik sastra, ia di anggap sebagai salah seorang prosa modern. Franz Kafka lahir di praha, 3 juli 1983. Ia putra dari pedagang yahudi yang kaya raya, Hermann Kafka. Disamping dengan keadaan ekonomi kelurga yang memadai Kafka yang akrab dipanggil beralih belajar ke dalam ilmu hukum, yang dipercayainya akan lebih memberikan waktu banyak untuk ia menulis, namun sebelumnya ia juga pernah mengambil ilmu sastra dan kedokteran. Karya-karyanya mengangkat tentang kegelisahan dan keterasingan manusia modern yang terperangkap dalam sebuah dunia ganjal dan asing.
Ah, tiba-tiba saya membayangkan esai-esai gokil semacam, “apa yang dipikirkan kucing ketika kucing memikirkan murakami? Atau apa yang terjadi jika suatu pagi seekor kecoa terbangun dan menemukan dirinya berubah menjadi Franz Kafka atau Hemingay membunuh Hemingway.” Esai. Hal itu bisa di tulis dalam bentuk esai. 
Dari kutipan esai Eka Kurniawan juga mengatakan betapakah  karya-karya Franz Kafka ini selalu menimbulkan suatu hasrat untuk berimajinasi liar, betapapun itu dalam menulis esai.  Kembali pada karya Franz Kafka “di Depan Hukum”. Ketika kita mendengar “di Depan Hukum” yang terlintas adalah penjara, hakim dan jaksa. Tapi berbeda dengan “di Depan Hukum” yang seorang Kafka rangkai dalam cerpen ini, hanya seoang penjanga pintu yang ada depan hukum, penjaga pintu yang tokoh orang desa itu temui di depan hukum. 
Di depan hukum berdiri seorang penjaga pintu. Seorang dari desa datang menemui penjaga pintu dan minta izin untuk menghadap hukum. Tapi penjaga pintu tersebut menolaknya untuk memberi izin masuk sekarang. Orang desa itu menanyakan, apakah dirinya nanti bisa masuk. “Itu mungkin, tapi tidak sekarang,” jawab penjaga pintu. Ketika pintu pengadilan itu terbuka seperti biasanya dan penjaga pintu menepi, orang desa itu telah melihat ke ruang dalam pengadilan. Ketika penjaga pintu mengetahuinya, tersenyum dan berkata, “Jika kamu akan mencobanya, mengapa tidak masuk saja, meskipun dilarang. Tapi ingat, saya berkuasa. Dan saya hanya penjaga pintu yang paling rendahan. (Kafka, diterjemahkan: Sigit Susanto)
Dari kutipan cerpen Fran Kafka di atas, dalam paragraf pertama saja tak ada kawalan polisi atau seorang jaksa, ataupun seorang hakim yang menyambutnya. Hingga pada akhirnya timbul pertanyaan mengapa seorang Kafka memberikan judul “di Depan Hukum” pada cerpennya? tanpa ada orang-orang yang berkaitan dengan hukum, hal ini juga sudah membuktikan bahwa hukum yang Kafka yang maksud adalah hukum yang lain, dan hal ini juga bisa menjadi simbol yang bermakna filosopis, atau mungkin hal ini berkaitan dengan keadilan yang identik dengan hukum? Tentunya paragraf pertama belum memberikan jawaban yang sah tentang hukum.
Ada hal yang menarik, unik dan luar biasa dalam cerpen di Depan Hukum Kafka ini adalah dibubuhinya berbagai macam percakapan dan pernyataan yang kaya akan filosopis.  Gaya yang Kafka suguhkan adalah  gaya  pengontrasan atau pertentangan: suatu bentuk gaya yang menuturkan sesuatu secara berkebalikan dengan sesuatu yang disebut secara harfiah. Hal yang dikontraskan dapat berwujud fisik, keadaan, sikap dan sifat, karakter, aktivitas, kata-kata, dan lain-lain tergantung konteks pembicaraan. Berwujud majas hiperbola, litotes, ironi dan sarkasme (Nurgiyantoro, 2014:260).   
Di bawah ini adalah penggalan dialog yang dikutip dari cerpennya Kafka:

....“Itu mungkin, tapi tidak sekarang,” jawab penjaga pintu.
....Ketika penjaga pintu mengetahuinya, tersenyum dan berkata, “Jika kamu akan mencobanya, mengapa tidak masuk saja, meskipun dilarang. Tapi ingat, saya berkuasa. Dan saya hanya penjaga pintu yang paling rendahan. Tapi dari ruang ke ruang lain telah dijaga oleh penjaga pintu, satu dengan yang lain makin tinggi kekuasaannya. Bahkan saya tidak bisa menanggung pada pintu ke tiga.” Orang desa itu tak mengharapkan kesulitan.
Percakapan ini saja tentunya Kafka menunjukan gaya bercerita yang terasa gaya kontras dengan makna yang dalam. Bisa dilihat dari kutipan-kutipn dialog penyataan yang dihubungkan dengan kenyataan: kaya akan makna filosopis yang bertentangan,  bentuk gaya yang menuturkan sesuatu secara berkebalikan dengan sesuatu yang disebut secara harfiah. Hal yang dikontraskan dapat berwujud kata-kata yang berwujud litotes.
... Akan tetapi penjaga pintu berkata, “Saya hanya menerimanya, sehingga kamu jangan berpikir, kamu telah semena-mena pada semuanya.” Setelah lewat bertahun-tahun, orang desa itu memperhatikan penjaga pintu terus menerus. ...
..karena ketinggian antara keduanya telah berubah, banyak yang menyengsarakan orang desa itu. “Kamu masih ingin tanya apalagi?” tanya penjaga pintu. “Kamu rakus.” “Semua orang berupaya berurusan dengan hukum,” kata orang itu..
...“Bagaimana mungkin, bertahun-tahun lamanya, tak seorangpun kecuali saya telah minta izin menghadap hukum?” Penjaga pintu itu sadar, bahwa orang itu sudah mendekati kematian, di samping kedunguannya bertambah, dan untuk masuk...
....penjaga pintu berkata keras pada orang desa, “Tak ada orang lain dapat izin masuk ke sini, karena pintu ini dimaksudkan hanya untuk kamu. Sekarang saya pergi dan saya tutup pintunya....”   

Betapakah pernyataan dari dan dialog-dialog cerpen begitu kental dengan pegontrasan yang berwujud dengan gaya bahasa litotes dsb., seperti yang saya ungkapkan tadi bahwa gaya cerita yang diungkapkan Franz Kafka penuh dengan makna filosofis yang hendak disampaikan melalui tokohnya. Namun dalam karyanya yang berjudul “di Depan Hukum” telitinya seorang pembaca karena betapakah banyak kata-kata yang menjebak untuk menafsirkannya. Salah satunya kutipan yang ada apa awal cerita ini
...Orang  itu mengira Hukum sudah tutup dan bertanya apakah dia akan diizinkan masuk nanti. "Mungkin saja," jawab sang penjaga, "tapi tidak saat ini." Ketika pintu terbuka, seperti biasa, penjaga itu melangkah ke satu sisinya, orang  dusun itu lalu membungkuk untuk mengintip ke dalam melalui pintunya. Mengetahui hal ini, si penjaga tertawa dan berkata: "Jika kau begitu tertarik padanya, coba saja masuk meskipun aku larang. Tapi ingatlah: Aku sangat kuat. Dan aku hanyalah satu saja dari banyak penjaga.
....
“di Depan Hukum” ini menggambarkan tentang potret anak manusia yang lemah dan yang nasibnya tak kunjung berubah; manakala pada saat itu manusia tidak berani membuat perubahan besar. Seorang orang  desa yang tak diijinkan masuk.    
Singkat cerita: seorang laki-laki desa dan penjaga pintu yang kukuh dengan pendirian masing-masing. Orang  desa yang sopan dan santun dengan kukuhnya menunggu penjaga pintu pengadilan itu membukakan pintu, serta penjaga pintu yang kukuh pula tetap menutup pintunya untuk orang  desa itu tanpa suatu alasan yang jelas, anak manusia yang tak ada keinginan untuk merubah perubahan yang ada.
Hingga setelah bertahun-tahun orang  desa itu menuggu: dia menjadi kanak-kanakkan, matanya sudah tak mampu untuk melihat jelas lagi, bahkan bajunya telah berkutu ia tetap masih berharap agar kutu itu bisa merubah kutu-kutu  itu untuk merubah sikap penjaga pintu itu. Namun hingga ia sadar bahwa megurus hukum itu begitu sulit dan penjaga pintupun tersadar  bahwa orang desa itu dekat dengan kematian di samping kedunguan orang  desa itu yang bertambah.
"Tak ada orang lain yang mungkin diizinkan masuk ke sini karena pintu ini dibikin hanya untukmu. Sekarang aku harus menutupnya." Teriakkan penjaga pintu itu ternyata mengakhiri cerpen kafka namun tidak menutup pertanyaan, serta imajinasi kita untuk terus menggali apa yang disampaikan oleh kafka. Jikapun kafka menyampaikan keadilan pada hukum, atau sebuh pilihan untuk tetap teguh pada pendirian, atau seorang anak manusia yang hidup lemah menerima takdir. Hingga pada akhirnya Kafka telah berhasil menjadikan cerita pendeknya yang teramat pendek menjadi berakar untuk tetap menjalar imajiner pembaca.
“Mimpi, Imajinasi, dan realitas berbaur dalam sebuah dunia yang terkadang absurd.”
   Gaya pengontrasan Kafka yang penuh dengan filosopis mampu mengecoh pembaca dari awal hingga akhir cerita. Meski cerpen “di Depan Hukum” ini hanya memuat satu halaman namun cerpen ini kaya akan imajinasi, bahkan dibanding dengan karya-karyanya yang lain seperti Fabel Kecil, Penghakiman dan metamorfosis. Dalam esainya Eka Kurniawan:
Metamorfosis banyak dianggap sebagai kisah yang simbolik dengan berbagai interpretasi. Soal menjadi mahluk apa sebenarnya si Gregor ini sendiri menjadi banyak perdebatan, ada yang mengatakan kecoak, serangga, kutu, dll. "Barang siapa melihat `Metamorfosa` lebih dari sekedar fantasi ilmu serangga, aku anggap pembaca itu telah berhasil."  
Nah, dari pernyataan Eka Kurniawan di atas juga menguatkan betapakan cerpen Kafka ini diwarnai dengan berbagai simbolik, tak hanya di depan hukkum saja, atau metamofosis saja pun cerpen-cerpen Franz Kafka yang lainnya juga.
Dengan keberanian Kafka bermain dengan khayalannya, keunikan, keanehan yang ditemukan dalam  karya-karyanya yang lain pula. Bagaimana pun, Kafka kini telah banyak menorehkan karya yang kaya dengan imajinasi liar dengan simbol yang ia suguhkan, dengan penyampaian makna yang ia selipkan hingga dengan bijaknya ia selalu memberikan banyak penafsiran pada pembaca.

Catatan
Kurnia, Anton. Ensiklopedia Sastra Dunia. Jakarta: I:Boekoe, 2006.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
        University Press, 2012.

Suroso, dkk. Kriktik Sastra. Yogyakarta: ELMATERAPUBLISHING, 2008. 

Kuniawan Eka. Franz Kafka Esai . http://ekakurniawan.com/blog/tag/franz-kafka, 2014

Memorabilia II


“Langit mulai bisu. Hanya warna yang ia tampakkan saat aku mulai menyapa rindu. Tapi sayang ketika mata tak bisa lagi lama menatap langit—aku mulai rindu. Rindu menatapnya.  Pun langit saat ini yang tak menampakkan warnanya. Hanya bintang dan bulan yang menghiasinya dalam kegelapan. Aku mecoba berpaling pada bintang dan berpaling pada bulan untuk memulihkan penglihatanku, tapi lagi-lagi mataku tak bisa menatap lama.”
“Nak, bagaimana matamu. Apakah sudah baik sekarang?”tanya ayah sembari menghampiriku.
Ayah yang selalu khawatir dengan keadaan mataku. Dan aku tak bisa  menjawab—aku tak bisa memberikannya penjelasan tentang mataku yang sering lelah hingga menimbulkan sakit kepala yang berlebih. Aku tak mau merepotkannya.
Malam itu, aku sedang terbaring. Terbaring menatap lampu kamar yang mulai redup dalam penglihatanku. Ah, apa yang terjadi dengan mata yang semakin hari semakin tak menampakkan keindahan dipenglihatanku. Aku mencoba menarik ujung selimut dan menutupkannya ke seluruh bagian kepalaku untuk menghindari rasa sakit. Karena saat itu mataku mulai lelah, mataku tak kuat melihat radiasi yang menjadi objek setiap hariku ketika aku menulis.  Jika ini terus berkepanjangan, tidak ... hal ini tidak akan aku biarkan terjadi pada mataku kerena mataku salah satu teman dalam menulisku, tanpanya aku tak bisa melihat bagaimana menyusun alpabet—keindahan tulisanku. Sejak saat itulah aku sering mengompres mataku. 
“Sudah berapa kali kau mengomprenya di hari ini Nak,”tanya ayah lagi yang mulai terus bertanya jika tak di jawab.
Lagi-lagi aku diam. Diam tak menjawabnya. Bukan karena aku tak terima dengan sakit yang kurasakan ini. Tapi karena suara Ayah. Suara Ayah yang penuh perhatian. Ia selalu membuatku menangis, bukan menangis karena ia selalu menyakitiku tapi aku selalu menangis karena rasa sayangnya terhadapku. Tak bisa kugambarkan dengan apapun tapi ia tetap subuh. Ia adalah subuh, memberikan aku ketenangan yang sesungguhnya. Ia adalah putih karena ikhlas yang ia suguhkan padaku.  Seluruh tubuhku masih kututupi dengan selimut.  Aku berpura-pura sudah tidur saja malam itu.
*
Aku ingat malam kemarin. Malam yang selalu menjadi aktivitas Ayah memasuki kamarku. Seperti malam ini. Malam itu juga Ayah ke kamar. Ia membawa kompresan untuk mengompres mataku.  Sebenarnya aku juga sudah tidur malam itu, tapi ketika ayah datang ke kamarku dan mengompres mataku—aku terbangun dan pura-pura tertidur lagi saja. Ayah dan aku adalah orang yang tidak mau ribet, apalagi masalah sepele seperti ini, yaitu mengompres  mata setiap tiga kali sehari. 
“Kau cepat sembuh Nak, lanjutkan kerangka itu,”Ucap ayah malam itu. ketika  Ia mengompres mataku.
**
Ayah adalah senja yang sempat kuliahat dalam mimpi. Ia adalah muara dari segala hal yang membuat aku tak pernah lelah. Sebab, segala rasa kasih dan sayangnya. Ia adalah batu yang tak akan aku kubur di tanah. Tapi ia adalah batu yang akan aku semayamkan dalam hati hingga kau kembali pada keabadian yaitu kembali pada-Nya.
Kerangka ini akan aku selesaikan hingga nafas mulai menjadi es. Kerangka ini akan aku bukukan hanya untukmu seorang, ayah—sampai aku kembali kepada keabadian nanti.
Aku tak senang ketika Ayah memberiku rekening. Aku tak senang ketika Ayah   membiarkanku menikmati yang aku inginkan. Ketika Ayah berkata “semua yang bapak lakukan demi masa depanmu, Nak.” Tidak. Aku tidak senang jika Ayah terlalu memanjakanku. Tapi apakah kau tahu ayah dari mana aku menemukan subuh dan putih itu? darimu—dari perhatianmu, dari kasih sayangmu dan dari lelahmu yang kau sembunyikan dariku.
Dan kau tahu Ayah. Ketika sebuah kata sering kau ucapkan—ketika itu pula aku menangis. Menangis ketika aku takut tidak membahagiakanmu.
“Sebab, Ayah tidak mau meniggalkanmu dalam keadaan yang tidak tahu—raihlah cita-citamu.”Pesan ayah setiap kami cerita.
***
Kemarin, kini dan nanti adalah nadi untukmu. Nadi yang memberikan kehidupan kecil dalam keberkahan kasih sayang. Ia adalah muara dari segala muara; tahu apa yang aku lakukan—yang ingin aku lakukan—yamg sedang aku lakukan. Ia sering mengajakku berdiskusi tentang kehidupan hingga mengajakku bergadang. Ia pernah bercerita padakku.”Bapak, suka diskusi Nak, maka dari itu Bapak sering mengajakmu diskusi hingga larut malam seperti ini.”ucapnya kala itu—ketika aku pulang malam.
Malam itu ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, ketika aku pulang malam. “ Ada kegiatan apa Nak, sampai pulangnya larut malam?,”tanyanya menghampiriku ke kamar.
Ia selalu bertanya seperti itu meskipun sebelumnya aku sudah cerita  ada kegiatan  di kampus dan akan pulang sore. Itulah ia yang selalu ingin tahu—aku tahu ia memancingku untuk bercerita—bercerita tentang apa yang aku lakukan tadi pagi hingga malam.
Setiap malam, Ia sering ke kamarku—ia sering diam di ruang tamu. Aku tahu ia menungguku untuk cerita apa yang aku lakukan seharian tadi. Hingga pada akhirnya aku selalu menceritakan kalian dan mereka—tidak untuk kau yang menjadi rahasia-Nya, sebab ia masih mengajariku untuk belajar. Dari aku SD-Perguruan Tinggi ia tak pernah bosan mengajariku belajar, belajar, dan belajar. Ia yang berarti  untuk vitamin tulangku, ia yang selalu menegakkan aku dikala aku mulai lemah.  
*

Aku ingat lagi malam itu... malam ketika hujan mulai saling  mengenal. Saat perjalananku dan ia menantang maut dan hampir saja kami tak bisa melanjutkan perjuangan kami di bumi-Nya ini.  Sulit untuk kuceritakan kejadian itu, sebab itu adalah memorabilia tentang malam yang mulai kukubur. Karenanya ... sebab, aku mulai mengaplikasikan tentangnya.
Jika permainan monopoli itu menjadi sebuah permainan nyata maka satu-satunya orang yang  akan kuajak pertama untuk keliling dunia adalah ia, menghabiskan masa senjanya hanya dengan kebahagiaan.
Ah, tapi sangat disayangkan ketika ia tak pernah menjadi lawanku dalam permainan catur. Baginya bermain catur itu membikin sakit kepala, dan membuatnya tak menemukan jalan pintas hingga akhirnya hanya dengan empat langkah saja ia sering skak hingga permainan selesai dalam satu babak. Berbeda denganku, bagiku permainan catur itu membikin aku untuk tidak menyerah mencari jalan, walau kepala sering sakit dan ujung-ujungnya aku harus istirahat tapi bagiku hal itu sangat menarik untuk membelitkan otak—banyak hal yang bisa kujadikan pelajaran dari permainan catatur itu: belajar bersabar, tak pernah menyerah untuk berfikir dan masih banyak lagi hal. Untuk melangkahkan satu anak saja harus dipikirkan matang-matang agar raja tidak menjadi buronan para kuda, benteng, kuncung dan terlebih patih yang bisa melangkah kemana saja—sesukanya. Itulah kami—kami yang memiliki perbedaan.
Banyak ibarat yang sangat kuelu-elukan tentangnya. Tapi sayang ia tidak pernah mendengar hal ini. Bahkan ia tidak tahu tentang aksaraku yang mulai bersayap karenanya—karena ia satu dari sumber inspirasiku.
Jika sebelum hakku diambil oleh-Nya maka satu permintaan yang ingin aku utarakan dengan suatu perkataan padanya—yang saat ini belum pernah aku utarakan. “Ayah,  aku sangat menyayangimu seperti aku menyayangi aksaraku. Aku menyayangimu seperti aku dalam sikap diamku. Sebab... kau adalah subuh yang tak akan pernah kugantikan dengan malam, kau adalah ketenangan yang tak akan pernah kugantikan dengan apapun—meski aku harus kembali sebelummu—aku ikhlas”.   
Terlalu banyak ceritaku dengan ayah, terlalu banyak cerita yang ingin ku ungkapkan kepada ayah. Tapi, cukuplah certa itu menjadi cerita unntuk nanti—nanti setelah aku dalam keabadian.
Lagi-lagi ayah cerita ...“Ketika di rumah sulit sekali untuk menjatuhkan air mata; sulit sekali untuk mengingat mati—meski Bapak ingat dosa dan ingin menangis. Tapi entahlah Nak, Ketika di sana (mekkah), Ayah tak pernah rihat menjatuhkan air mata, menangis kerena dosa, menangis karena ingat mati, dan Ayah selalu  ingat kalian,”Katanya yang tak pernah berhenti cerita, ketika ia pulang—sampai saat ini.
“Ayah ingin ke sana lagi, Nak.” Harapnya mulai menggebu.
 “Nanti Ayah, kita bersama-sama mencium hajar aswad-Nya lagi— Insya Allah,” lirihku dalam hati. 
Betapa istimewanya rumah kekasih-Mu itu, hingga Ayah tak pernah berhenti  membicarakan-Mu. Oh,  Allah ...  sempatkan kami untuk besujud di rumah kekasih-Mu lagi , pun Ayah.
Ayah selalu membikin aku untuk merenung. Merenung tentang hidup. Ia adalah motivator pertamaku. Mendengar cerita Ayah, aku semakin ingin ke sana. Ia sering bercerita. Bahkan ke inginannya selalu ia ceritakan pada kami.
Cerita  Ayah yang tak pernah kunjung usai.
“Ah Ayah, engkau  membikin aku untuk selalu membahagiakanmu”,Ucapku sambil meutup buku catatanku dan beranjak ke kamar mandi.
Tak akan habis sampai waktu menjadi pancaran yang menyapa rindu. Rindu ayah yang selalu kurangkai dalam aksara. Terlalu banyak jika sang penulis kehidupan membiarkanku menuliskan tentang ayah yang tak akan usai. Dan tak akan pernah usai sampai keabadian merangkak dalam ingatan.
Langit semakin menampakkan semangat yang menggebu tentang rindu dan ayah. “Din, ayo kita berangkat. Lihat matahari yang ada disana. Matahari itu mengajak kita untuk cepat-cepat pergi ke sekolah.”









Memorabilia I



Nadi#1                                                                                   :Ayah...
Ia adalah muara dari segala muara; tahu apa yang aku lakukan—yang ingin aku lakukan—yamg sedang aku lakukan. Ia sering mengajakku berdiskusi tentang kehidupan hingga mengajakku bergadang. Ia pernah bercerita padakku.”Bapak, suka diskusi Nak, maka dari itu bapak sering mengajakmu diskusi hingga larut malam seperti ini.”ucapnya kala itu—ketika aku pulang malam.
Malam itu ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.00 Wib, ketika aku pulang malam. “ Ada kegiatan apa Nak, sampai pulangnya larut malam?,”tanyanya menghampiriku ke kamar.
Ia selalu bertanya seperti itu meskipun sebelumnya aku sudah cerita  ada kegiatan  di kampus dan akan pulang sore. Itulah ia yang selalu ingin tahu—aku tahu ia memancingku untuk bercerita—bercerita tentang apa yang aku lakukan tadi pagi hingga malam.
Setiap malam, Ia sering ke kamarku—ia sering diam di ruang tamu. Aku tahu ia menungguku untuk cerita apa yang aku lakukan seharian tadi. Hingga pada akhirnya aku selalu menceritakan kalian dan mereka—tidak untuk kau yang menjadi rahasia-Nya, sebab ia masih mengajariku untuk belajar. Dari aku SD-Perguruan Tinggi ia tak pernah bosan mengajariku belajar, belajar, dan belajar. Ia yang berarti  untuk vitamin tulangku, ia yang selalu menegakkan aku dikala aku mulai lemah.   
...

Aku ingat lagi malam itu... malam ketika hujan mulai saling  mengenal. Saat perjalananku dan ia menantang maut dan hampir saja kami tak bisa melanjutkan perjuangan kami di bumi-Nya ini.  Sulit untuk kuceritakan kejadian itu, sebab itu adalah memorabilia tentang malam itu mulai kukubur....
...
Karenanya ... sebab, aku mulai mengaplikasikan tentangnya...
Jika permainan monopoli itu menjadi sebuah permainan nyata maka satu-satunya orang yang  akan kuajak pertama untuk keliling dunia adalah ia, menghabiskan masa senjanya hanya dengan kebahagiaan.
Ah, tapi sangat disayangkan ketika ia tak pernah menjadi lawanku dalam permainan catur. Baginya bermain catur itu membikin sakit kepala, dan membuatnya tak menemukan jalan pintas hingga akhirnya hanya dengan empat langkah saja ia sering skak hingga permainan selesai dalam satu babak. Berbeda denganku, bagiku permainan catur itu membikin aku untuk tidak menyerah mencari jalan, walau kepala sering sakit dan ujung-ujungnya aku harus istirahat tapi bagiku hal itu sangat menarik untuk membelitkan otak—banyak hal yang bisa kujadikan pelajaran dari permainan catatur itu: belajar bersabar, tak pernah menyerah untuk berfikir dan masih banyak lagi hal. Untuk melangkahkan satu anak saja harus dipikirkan matang-matang agar raja tidak menjadi buronan para kuda, benteng, kuncung dan terlebih patih yang bisa melangkah kemana saja—sesukanya. Itulah kami—kami yang memiliki perbedaan.
Banyak ibarat yang sangat kuelu-elukan tentangnya. Tapi sayang ia tidak pernah mendengar hal ini. Bahkan ia tidak tahu tentang aksaraku yang mulai bersayap karenanya—karena ia satu dari sumber inspirasiku.
Jika sebelum hakku diambil oleh-Nya maka satu permintaan yang ingin aku utarakan dengan suatu perkataan padanya—yang saat ini belum pernah aku utarakan. “Pak,  aku sangat menyayangimu seperti aku menyayangi aksaraku. Aku menyayangimu seperti aku dalam sikap diamku. Sebab... kau adalah subuh yang tak akan pernah kugantikan dengan malam, kau adalah ketenangan yang tak akan pernah kugantikan dengan apapun—meski aku harus kembali sebelummu—aku ikhlas”.

...

Pelukis


1.Michaelangelo Buonarroti

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtkBB15c_b27Wnw5nPPKz5X1wiwCEjTd6QkEXHjiszQceUd3QeXPwaixVskM8HVcKSRVzTE-q3PD4ph7ouHEx4A37yaROcxhhRwo3r_TO_5av75oHnUal_YlAMkU1fgjcjonlJWfzWktMY/s1600/Michelangelo-Buonarroti_.jpg

Atau nama lengkapnya dalam bahasa Italia
 Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni (dalam bahasa Spanyol disebut Miguel Ángel; dalam bahasa Perancis disebut Michel-Ange, yang kurang lebih berarti Malaikat Mikail) (6 Maret, 1475 - 18 Februari, 1564) adalah seorang pelukis, pemahat, pujangga, dan arsitek zaman Renaissance.
Ia terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa. Karyanya yang dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Sistine's Chapel.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjimbs9UK7jppTJLlXuTXuh8P4xGvxL5Gath76uCW8ZP-yT6PpcK0NwViGNjbMIlp4TmPhMgF9uQDvjWShC3icVthxkcpaeRAIXtbetEC7gz-ZRWHT-mayxWu661xx15ihrJnvNrPErby6S/s1600/450px-David_di_Michelangelo_-_patellae.jpg

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkgRzlRI97WXVGq9NCZdlZ5-9xzz6XbAhYBAXe1-p-wTiQkhih8PgghI60r6L0NrdNutX_NB1QWV5USisp_yITQ3J-NABTxa3DSHuZQqXzFd7GhEvaKRXln-kKmHK7sDas8yGgeVc4R_QP/s1600/503px-Michelangelo_-_Fresco_of_the_Last_Judgement.jpg

2.Rembrandt Harmenszoon van Rijn

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8ZQXKOFfaFVcuTEodoT3oMlJhE8zV7Egy2EkeU9SOH_Zpyrwlem7kMHONaajGGeTUCncLoIaYFKAI_ZsraQtR54Eyc-EdBvBg0nv84Bd7lM3k0Rk-J6Z66msRAwqqhuFCqBMY244lsQ8d/s1600/220px-Rembrandt_van_rijn-self_portrait.jpg

(15 Juli 1606 – 4 Oktober 1669) adalah pelukis Belanda yang merupakan salah satu pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa. Rembrandt dikenal dengan keahliannya memanipulasi ekspos cahaya terhadap objek sehingga memberikan efek tertentu di dalam lukisan.
Rembrandt juga sering membuat karya-karya grafis dan gambar. Kontribusinya yang besar terhadap seni rupa terjadi pada era keemasan Belanda (sekitar abad 17)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEFyTq5m-wASG5GzkGoSGFkaEMzEiZ13RhMLZ_pBgj9NFMFwVu2QhDFdFfsV563ntFPwz6CdGpd19qCiWWQHJJvXWirxMMd9pr7v3XKIDWXvLyRia_p14TCGZc1yQPKFH8Ca2vhYoQ6ja5/s400/300px-Rembrandt_Harmensz._van_Rijn_007.jpg

3.Pablo Ruiz Picasso

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMjk1cIGfrbS_PKEEeOhUDeNX08UMO0O__keI2kf7H71t61JWbn5rSqSzCJFdOelUONiy3uM7QbqT7XmuaYJVZ-REKatZbRrjK9lgroMGd6pLorj5g6IRXbsxzEpAFSxxZNK2n12ijL1Mg/s1600/pablopicasso.jpg
>
(lahir 25 Oktober 1881 – meninggal 8 April 1973 pada umur 91 tahun) adalah seorang seniman yang terkenal dalam aliran kubisme dan dikenal sebagai pelukis revolusioner pada abad ke-20. Jenius seni yang cakap membuat patung, grafis, keramik, kostum penari balet sampai tata panggung. Lahir di Malaga, Spanyol 25 Oktober 1881 dengan nama lengkap Pablo (or El Pablito) Diego José Santiago Francisco de Paula Juan Nepomuceno Crispín Crispiniano de los Remedios Cipriano de la Santísima Trinidad Ruiz Blasco y Picasso López. Ayahnya bernama Josse Ruiz Blasco, seorang profesor seni dan ibunya bernama Maria Picasso Lopez.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGKt6pS8LcXR6aS5Z3vm-P1vCzyYvss68ID2ZmYm-O9tKTDqTw01-v4PauDlWR5V2hm49D3aIujnOG0YyigR7UhkJ9xqWcE9bUssKAONDA5eOPNsaekeDhvrmMK9cqxEWZHw9GgJ-Mdppu/s400/picassofriendship-1908.jpg

4.Leonardo da Vinci
 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8Q1OdX6vIfgjgx3nvcEV-Dxs2J9_k21ZCC1UArwoZ8G2JTHWPqQEg1R8oTxq-1hD3o0C27dPfNHKd8vMr6EO5hHq1kMnTzZge04PuRK1MI53lRhW5UHlzJh58Qw9P9Ucu6PX_GhcmQnyp/s320/382px-Leonardo_self.jpg


(lahir di Vinci, propinsi Firenze, Italia, 15 April 1452 – meninggal di Clos Lucé, Perancis, 2 Mei 1519 pada umur 67 tahun) adalah arsitek, musisi, penulis, pematung, dan pelukis Renaisans Italia. Ia digambarkan sebagai arketipe "manusia renaisans" dan sebagai jenius universal. Leonardo terkenal karena lukisannya yang piawai, seperti Jamuan Terakhir dan Mona Lisa. Ia juga dikenal karena mendesain banyak ciptaan yang mengantisipasi teknologi modern tetapi jarang dibuat semasa hidupnya, sebagai contoh ide-idenya tentang tank dan mobil yang dituangkannya lewat gambar-gambar dwiwarna.Selain itu, ia juga turut memajukan ilmu anatomi, astronomi, dan teknik sipil bahkan juga kuliner.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7GEnEfKZ-yaOPwfaVSPvquJzt0-ADFhXXh2zMQp1RI9F1EIlN4bFa7XKMBTeKLL2sYJZ2HEAgF22ULWfcgzgYmZ5OW8VfUIRA-vwoRll6hBpdtPLHsqSxnP_cNt3w5Kv1K31zvD5kiaB8/s320/monalisa.jpg

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmcJhp1TdYQ3Q8D68LXV3Zi_EaByah5g6F6Oo7HuQpbZtmUVz-6AQqBs0HivP8bVY3CGx_JKO-3biyNbGA0EjSJAZ8CKH_-t5GpZCn8tpcP2YrjJtYon1U2QDnMTNzJzplggvNMT4f-jT9/s640/leonardo-da-vinci-painting-leda-and-the-swan.jpg


5.J. M. W. Turner

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqelfwCqrxhv35S3JH9ufsz8YBm09ga0rifduhgLZA91lWxWx3q9cUp8DBIQ69QSm8hdzW90StrbuzV4g04eZVtqlxORCoNPVKwByGWnq5guB9xFasCjTyzdapCGG8Lj63CGVKcgSDlBgH/s320/595px-Joseph_Mallord_William_Turner_083.jpg

Joseph Mallord William Turner RA (1775 -1851) adalah seorang pelukis pemandangan Romantis Inggris, watercolourist zaman Renaisans. Turner dianggap sebagai tokoh kontroversial pada zamannya, namun kini dianggap sebagai seniman yang tinggi lukisan pemandangan ke rivalling eminensia lukisan sejarah.Walaupun terkenal karena lukisan minyak, Turner juga merupakan salah satu guru terbesar cat air Inggris lanskap lukisan. Dia dikenal sebagai "pelukis cahaya"dan karya-karyanya dianggap sebagai pengantar Romantis impresionisme.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMzzntdHhC-pYI9U68pLIWx7TYOBWVAS7wvYotaHFD2pKHN8kCgT_AH8Jf18rwZei3zQyMoYWlwSh8XF0FiR3-8WGr0i0NW0OGPuz6yMU30McAPCIYXT6T5xwKqTa-1BZ2JWS4-Zgd8gT5/s400/800px-Turner-The_Burning_of_the_Houses_of_Lords_and_Commons.jpg


6.Donatello

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTuThYps_93Zks4Tp27KIkkRVr0rX8K4Rxo0epspxrz29pOtvXQiA8XpPCO56tWLg6_rIPwd1WkU53J2M1eGWEqLRTP114DlpCQmlSgbZ37rDdf6AKp2Sc3axK6Ac45P7QM_GHrremg_4R/s1600/donatello.jpg

Donatello (Donato di Niccolò di Betto Bardi; c. 1386 – 13 Desember 1466) adalah artis dan skulptor Italia pada zaman Renaissance awal. Ia terkenal atas karyanya, basso rilievo.
Donatello meninggal di Florence tahun 1466 dan dikubur di Basilika San Lorenzo.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhaOAaUdF9KMazF_MEZLxLFKrdThPPT9MF2e3lKvi28S5knmGFxNBI3ilCPq__Qq4gTbwO1wy9Z8CufR00BhmIIr5y8u3PKhm-BuTGa0C6RbdzU8E2z2hd0OItgQypq-ZrmjwbfEsyHOZAy/s640/DonatelloDavid.JPGhttps://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhME4AI4dLjG02lQa7TGIAE1u-pT-Zg49Y1IbmhcV_GtZuPKgISbUYEW4mijKwbulKVh9WrOsExpOwHSehtl38TpdVAKaZUJWD4mNGPHzOqBe2Pn9G6phv5f4SXQtTxn8SrBhC14stIc2eM/s1600/magdalen_titian_donatello.jpg

7.Claude Monet(1840-1926)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgFJWugCjV1UBchNTUSlu3hw_iwKj52uUQLf0nUkdNnEIIviUYvNnNEQOCwSWAFIythnDgN9fZTUAPYlobBt7EXNK-UGpLmafQq60AWsIPXg65WQA04Mbo8iiZf2nPxFlM6K3UTWcPUFs-G/s320/ClaudeMonet.jpg


Monet lahir dari pasangan Adolphe dan Louise-Justine Monet di 45 Rue LaffitteAwal April 1851 Monet memasuki sekolah Le Havre. Ia segera terkenal dengan karikatur-karikatur carchoalnya, yang sering dipajang dan dijual seharga 10 hingga 12 francs
ia meninggal akibat katarak pada tanggal 5 Desember 1926 pada umur 86 dan dikuburkan di pemakaman gereja Giverny

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibxmoKqHKgAS4l8A71lMWBh3OVZehW3sPfZtQjZ6KhwFikgoAiAWZ3Dq85pEy6JGO8U9LkteRuaaS_Sr-5zrDG9vLSZ0GbhQSw5MfXVoqKfJOFS0NmPFYukrZwcJxtExbYeOmhNaGQhHNX/s400/Claude_Monet-Waterlilies.jpg

8.Auguste Rodin(1840-1917)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiKSXw-md54v_p5sdp-Js8CX2mo_LDx9LkPFHB7O79qpF2d1oaFcIQMACQBVvOeK4vqmJ2ityJYXcfiuArcD_y7fL6Smayanrck4eIwHZDIXCI-pz_VYFKbnuxBw4hjM7BPhOP1BVwfcyFR/s320/Rodin-cropped.png

adalah seorang pematung Perancis. Meskipun umumnya dianggap Rodin nenek moyang patung modern, ia tidak berangkat untuk memberontak terhadap masa lalu. Ia dididik secara tradisional, pengrajin mengambil pendekatan seperti pekerjaannya, dan pengakuan akademis yang diinginkan, meskipun dia tidak pernah diterima di sekolah terkemuka seni Paris. Ia memiliki kemampuan unik untuk model yang kompleks, bergolak, sangat mengantongi permukaan tanah liat. Bakat Rodin yang menonjol adalah patung dikritik terus terang selama masa hidupnya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgyJgUj8BPX38X5fOvNWyxX5V-rRt4Go48lO4MimBZwG0wrzF4lrtB7H_Mxwpf68jGxsFzCpXdSg84Ur5vNd11u63R-tCW5KIAXgVA8uUYJ_U97-EzXADwd46s0G574WXJ5TalD_CFfeUMm/s400/368px-Hoellentor.jpg

9.Jan Van eyck (1390-1441)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsbA-e7bZ1tIss9J6hmxjhX-9EKZUMS6S2x38N6VocaRtf3qb0NEUnuUObveqAhwt-2IB9RavjJ6s47WrafuXuueIjpeSQ_XBAxDJkg3fSQ4FcMg3Ba1jpwLfjQORCfPfn6_-7BKnb7con/s320/1433_jan_van_eyck_man_in_a_red_turban-wl400.jpg


adalah seorang pelukis Flemish aktif di Bruges dan dianggap salah satu yang terbaik di Eropa Utara pelukis dari abad ke-15.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnI5r0kFkXkuyv-MKdWlRV_Kqu7RWUAgX4FlTsFXNkmVKbC6iQ_kBOJ-2XaaMmSc4LfV0NA8fpM5eskIMRN4qEbY5iKunJa5v5RFZRQPIY54COnpUrk_4M486xeGt_IbUDlG_5IasWdGte/s400/Eyck.hubert.lamb.750pix.jpg


10.Pieter Pauwel (Peter Paul) Rubens(1577–1640)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghJjKFqacInnUx2E7CFVPzVe8GdRcsuhcPa_UPbyWN26E8C_aXbBDeE0WHJFSQatgQcBrgs9uX4C-sAbU_SfoKyF91RHeZ6hfy0g_MZKLh1hJf5Od8FRq_Az6Xel6SPwomH82HWNPJUilI/s1600/200px-Peter_Paul_Rubens.jpg

adalah seorang pelukis. Banyak orang melihatnya sebagai salah satu pelukis Flem dan Eropa paling terkenal pada abad ke-17. Ia melukis dengan gaya Baroque. Banyak lukisannya memiliki sentuhan sensual, beberapa diantaranya dianggap erotis.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjii4w6WAdR0cjjhGTrA4RpwB1cxSeotRp4yjCeTDl_MfM8G3B2afQVQY2elRQO6ZtsLeZG7WqHDa4TvesQuG-Oc2z7RYBxpYpwZWmrNxAMpLbMLauh-laU-YbHCoOgB3oz8gk9ZozpJxEg/s400/RubensSamsonAndDelilahCa1610LondonNG450.jpg

BERBAHASA SEJAK LAHIR

  BERBAHASA SEJAK LAHIR :Siti Halimah   “Terdapat banyak bukti bahwa manusia memiliki warisan biologi yang sudah ada sejak lahir berup...