Perempuan yang akrab dengan Sunyi dan Kopi. Setelah mencintai Mahari, Bunga, dan Tamtam. Ada yang lebih aku cintai yaitu ular, katak dan laba-laba.- Siti Halimah

SINOPSIS NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA A. TOER



Novel Gadis Pantai



Di sebuah kampung nelayan yang jauh dari keramaian, hiduplah sebuah keluarga miskin yang kehidupannya menggantungkan dari laut. Mereka memiliki seorang anak gadis yang usianya baru berusia empat belas tahun. Usia yang belum cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Pada usia yang sedini ini dia sudah dinikahkan dengan seorang bendoro dari kota yang diwakili oleh sebilah keris. Perkawinan mereka hanya disaksikan oleh ketua kampung yang sekaligus sebagai perwakilan dari kota. Setelah pernikahan dilangsungkan, Gadis Pantai itu, nama anak nelayan miskin itu, langsung diboyong ke kota, ke tempat keluarga bendoro tinggal.
Kehidupan yang jauh berbeda dengan keadaan sewaktu di tempatnya sendiri membuat Gadis Pantai merasa dirinya dalam sebuah kerangkeng yang serba terbatas. Disekelilingnya tak ada yang pernah tersenyum dengannya, semuanya begitu kaku, hanya seorang pelayan tualah yang menjadi teman bicara dan teman bertanya dikala sedang merasa kesepian di kamarnya.
Tiga bulan telah berlalu Gadis Pantai kini telah menjadi istri seorang bendoro. Nama sebutannya pun sudah bukan Gadis Pantai lagi, melainkan Mas Nganten. Dalam waktu yang tiga bulan, Mas Nganten semakin tidak mengenal dirinya sendiri. Dengan perubahan-perubahan yang ada pada dirinya. Ini semua berkat bantuan pelayan tua yang senantiasa membimbing dan mengarahkan Gadis Pantai.
Kehidupan yang serba terikat dalam gedung yang besar membuat Gadis Pantai merasa rindu akan kampung halamannya. Dia ingin pulang kembali ke kampungnya. Tapi apa mau dikata pelayan tualah yang selalu meluluhkan hatinya agar tidak kembali ke kampungnya sendiri. Setahun berlalu Gadis Pantai semakin dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang memaksanya harus begitu rupa. Tidak ada kejadian yang merasa dirinya atau keluarga bendoro terganggu. Hal ini karena masing-masing memiliki tugas dan kewajiban berbeda, serta martabat yang berbeda.
Namun pada suatu ketika Gadis Pantai kehilangan dompet tempat uang belanjaan dapurnya. Uang itu untuk menghidupi seisi gedung. Gadis Pantai menjadi risih harus bagaimana dia mengadukan pada bendoro. Sedangkan yang dicurigainya adalah masih kerabat bendoro sendiri, setelah ditanyai dia tidak mengaku, malahan temannya yang lain ikut membelanya dan sebaliknya menghina pada Gadis Pantai. Namun pelayan tua yang menemani Gadis Pantai mengadukannya pada Bendoro.
Bendoro menjadi murka setelah tahu pencuri dompet istrinya adalah kerabatnya, dia langsung mengusirnya dari gedung itu bersama dengan pelayan tua yang mengadukannya. Hal ini membuat Gadis Pantai merasa terpukul karena dia tidak memiliki lagi teman untuk mencurahkan perasaanya. Kepergian pelayan tua tidak membuat gusar bendoro, karena pada waktu itu juga dia dapat menggantikan pelayan tua dengan seorang pelayan yang masih muda, Mardinah namanya pelayan itu. Dia masih kerabatnya bendoro sewaktu ditanya oleh Gadis Pantai.
Kadatangan Mardinah ke rumah itu sepertinya memiliki niat lain. Dia datang tidak hanya sebagai pelayan, tetapi ingin menghancurkan rumah tangga Gadis Pantai. Hal ini membuat Gadis Pantai ingin pulang ke kampungnya, dan bendoro pun tidak merasa keberatan. Kepulangannya ke kampungnya harus diantar oleh pelayan barunya itu, yakni Mardinah.
Gadis Pantai tidak pulang kembali bersama Mardinah ke kota, Gadis Pantai tinggal beberapa hari di kampungnya. Mardinah disuruhnya pulang terlebih dahulu bersama kusir yang mengantarnya sewaktu mereka datang. Selama di kampung Gadis Pantai tidak merasa seperti dulu. Semua orang memandangnya lain. Setiap orang yang dilihatnya langsung menundukkan wajahnya. Hal ini membuat Gadis Pantai merasa seperti dirinya asing bagi kampungnya sendiri. Bapaknya pun berlaku seperti orang lain, mereka seakan-akan baru bertemu dengan seorang pembesar.
Setelah empat hari tinggal di kampung, datanglah rombongan Mardinah yang akan menjemput Gadis Pantai dengan disertai empat orang pengawal. Mereka memaksa Gadis Pantai untuk segera pulang ke kota ditunggu oleh Bendoro. Sedangkan surat yang diberikan oleh bendoro tidak diberikannya pada Gadis Pantai ataupun bapaknya sendiri. Hal ini membuat Bapaknya Gadis Pantai merasa curiga. Dugaan ini ternyata benar, dan Bapak mencari akal untuk membuktikannya, serta menyelamatkan anaknya yang ada dalam bahaya.
Akhirnya rahasia Mardinah terbuka, setelah taktik dijalankan. Mardinah mengaku disuruh Bendoro dari Demak untuk membunuh Gadis Pantai di perjalanan dengan diberi upah yang cukup besar. Mardinah mendapat hukuman dari warga untuk kawin dengan lelaki yang paling malas di kampung itu, yang bernama si Dul Pendongeng. Mardinah dapat menerimanya dengan lapang dada.
Sepulang dari kampung Gadis Pantai merasa dirinya sedang mengandung. Hal ini langsung dibuktikan oleh paraji bendoro sendiri. Bendoro pun tidak banyak omong tentang kepulangannya dari kampung. Tidak banyak ditanyakan oleh Bendoro. Hal ini membuat Gadis Pantai merasa tenang untuk mnyelamatkan kampung orang tuanya, yang telah membuat hilangnya pengawal Mardinah. Kandungannya menginjak waktu ke sembilan, saat itu Gadis Pantai sudah tidak sabar lagi ingin segera memiliki seorang anak, hal inipun sangat ditunggu-tunggu oleh bapaknya sendiri di kampung.
Saat melahirkan pun kini telah tiba. Kelahiran Gadis Pantai dibantu oleh seorang dukun beranak kepercayaan Bendoro. Gadis Pantai melahirkan seorang anak perempuan yang mungil seperti ibunya sendiri. Namun bagi kalangan priyayi anak perempuan kurang diharapkan. Hal ini kelihatan setelah melahirkan Bendoro tidak mau melihat keadaannya sehabis melahirkan. Apakah dia sehat atau tidak. Tidak pedulinya Bendoro dikarenakan anak yang baru dilahirkannya seorang perempuan.
Tiga bulan setelah dilahirkan Bapak datang menjenguk Gadis Pantai secara tidak sengaja, Bapak dipanggil oleh bendoro untuk menghadap. Namun setelah menghadap wajah Bapak tidak bahagia, Bapak murung tidak seperti biasanya. Kemudian Bapak menyuruh Gadis Pantai untuk segera membereskan pakaiannya untuk dimasukkan ke dalam wadah.
Gadis Pantai merasa kebingungan Bapak mengajaknya pulang. Namun, Bapak menjelaskan pada Gadis Pantai bahwa Bendoro telah menceraikannya, dan Gadis Pantai harus segera pulang dengan bapaknya. Gadis Pantai merasa terkejut, tapi apalah daya seorang sahaya seperti dia hanya menurut kehendak Bendoro. (Bagian 3)
Walaupun dengan perasaan berat, Gadis Pantai meninggalkan semua yang dimilikinya pada waktu digedung bersama Bendoro, termasuk anak gadisnya yang baru tiga bulan dia lahirkan. Dalam perjalanan pulang Gadis Pantai yang sudah berubah menjadi Mas Nganten enggan untuk pulang ke kampung halamannya. Perasaan malu menghantui dirinya. Meskipun bapaknya tetap memaksanya untuk pulang ke rumahnya.


*novel ini selesai di baca pada tahun 2016


EKSPRESIF CHAIRIL DALAM “DOA” UNTUK MENUMBUHKAN NILAI RELIGIUS PADA SISWA. (Kajian Simbolik)



ESAI
EKSPRESIF CHAIRIL DALAM “DOA” UNTUK MENUMBUHKAN NILAI RELIGIUS PADA SISWA.  (Kajian Simbolik)
Siti Halimah

Fakta juga mengungkapkan bahwa besarnya karya seorang penyair senantiasa di awali dengan kegagalan, kesalahan, kekeliruan, pelanggarandan hal negatif lainnya, begitupun Chairil Anwar dalam penciptaan karyanya.
Membaca “Doa” karya Chairil Anwar membawa kita pada Pemeluk Teguh, seperti yang tertera pada sajak dibawah ini. Pada-Nya Chairil menampakkan diri sebagai diri yang penuh dengan kehampaan tanpa Tuhan, hingga pada sajak yang ditulisnya tentulah sangat jelas betapa Chairil Anwar penuh dengan kekhusyuan untuk mengingat sang pemeluk teguh setelah ia jauh dalam keterasingan. Itulah sedikit gerbang untuk kita masuk lebih dalam ke rumah “Doa” Chairil Anwar.
DO'A

                                                    kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943


Chairil Anwar adalah sastrawan muda yang dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922, ia dikenal sebagai sosok yang berontak. Seperti yang kita ketahui, Chairil yang akrab dipanggil adalah pelopor angkatan ’45 sekaligus puisi modern Indonesia. Pun bentuk puisi yang Chairil tulis pada masa itu berbeda jauh dengan aturan yang ada, bahkan bisa dikatakan melepaskan diri dari ikatan dan aturan-aturan puisi pada saat itu, melepaskan diri dari konvensi atau kelaziman yang ada. Hingga ia dijuluki “Si Binatang Jalang”, di ambil dari salah satu ungkapan yang terdapat dalam salah satu sajaknya.

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
            (Aku, 1943)

Semasa mudanya pun ia dikenal dengan sosok yang sering mabuk-mabukkan bahkan ia mengkonsumsi barang terlarang dan dijemput yang Maha Kuasa selagi diusia muda tanpa diketahui penyebab kematiannya. Dalam karyanya yang satu ini “Doa”  ia menunjukan bahwa ia siuman ketika membaca Tuhan, mengingat Tuhan dan termangu.
puisi ini terdapat dalam kumpulan sajaknya yang berjudul Deru Campur Debu.

...
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh 
...

Biarpun ia dalam kesusahan dan kekalutan yang tiada arti Chairil tetap tak hentinya untuk mengingat Tuhan. Rahmat Tuhan menderang penuh dengan kehangatan yang suci, tapi ia seperti lilin di kelam sunyi, ia merasa seperti cahaya dalam kehampaan. Dan perasaan itu tergambar pada bait ketiga seperti di bawah ini; 
...
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi ...

Dalam pada itu, sesungguhnya Si Binatang Jalang ini  dalam esainya Soni Parid maulana juga dikatakan bahwa “Sesungguhnya Chairil manusia yang kerap dilanda kesepian, asing dan sunyi dalam menghadapi gelombang kehidupan yang demikian keras menimpa dirinya,” hingga pantas saja dalam sajak “Doa” ini ia seiras kehilang arah,  asing dalam kehidupan—ia pasrah dan khusyuk ketika itu  tinggal kerdip lilin di kelam sunyi”. 
...
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
...

Sajak “Doa” Chairil Anwar ini sarat akan makna, bergitu dalam penyampaian dalam memerdekaan hatinya dan berserah diri pada Tuhan. Namun di sini ada beberapa hal yang menjadi multitafsir dalam penyampaian maknanya yaitu ketika penyair menyampaikan aku termenung karena ingat Tuhan atau ragu dengan Tuhan. Lihat simbolisasi yang ada pada bait;
...
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
...

Namun bagaimanapun penafsiran seorang kritikus tidaklah akan sama, karena Tuhan memberikan perbedaan kelebihan dan pisau bedah yang berbeda digunakan sipengkritik. Betapakah saya berpendapat bahwa pada larik tersebut tergambar jelas ada kesinambungan pada bait pertama dan terakhir yang menjelaskan bahwa ia termenung menyebut namaMu hingga kembali mengetuk pintu Tuhan. Penyair yang khusyuk mengingat Tuhan setelah ia mengembara begitu jauh dalam keterasiangan yang tidak Tuhan kenal, pada satu bait terakhir penyair berpesan dengan kesungguhan bahwa bersujud dan berdoalah kepada Tuhan –sang pemiik teguh dan tidak boleh berpaling kepada yang lain, sebab dalam kehidupan tidak terlepas dari ketuhanan.  Itulah perkara pemaknaan yang saya gunakan terkait “Doa” dengan simboliknya.
Ketika menengok kapan sajak “Doa” dilahirkan tentulah kita tahu bagaimana keadaan masyarakat pada sebelum merdeka, pun dalam kehidupan penyair yang tidak dapat digambarkan lagi dengan vulgar  tentang dialognya dengan Tuhan— telihat dari setiap baitnya yang menggunakan banyak simbol Tuhan yang menjadi penegasan Doanya.
Chairil berhasil membius pembaca dengan menegaskan segala rasanya tentang ketuhanan dalam sajak ini, mengajak pembaca untuk berparas pada kehidupan yang  tidak bisa berpaling dari ketuhanan. Chairil juga  memiliki kekuatan magis dari kata-kata yang disajikan, bahkan tak hanya dalam sajak “Doa” saja, dalam sajak-sajaknya yang lain seperti sajak putih, penerimaan, kerawang bekasi dan sajak lainnya menggambarkan berbagai penyampaian simbol yang sarat akan makna. Bahkan dengan simbol Tuhan dalam sajak “Doa” tergambar jelas Doa ia panjatkan pada Tuhannya.
Hingga pada pengharibaan Tuhan sajak ini hanya satu dari puisi Chairil Anwar yang menjadi simbol tentangnya yang pasrah, tentangnya yang hampa, linglung dan tidak ragu dengan adanya Tuhan dan tentang kehidupan yang tidak akan jauh dari ketuhanan. Bagimanapun penafsiran yang dituangkan saya pada Tulisan ini hanyalah buah pikiran saya dengan menggunakan pisau yang saya pilih. Benar tidaknya isi dalam suatu sajak itu adalah hak penyair.  
Dalam puisi di atas dijelaskan pasrah, tentangnya yang hampa, linglung dan tidak ragu dengan adanya Tuhan dan tentang kehidupan yang tidak akan jauh dari ketuhanan, hal tersebut dapat diterapkan pada siswa untuk menumbuhkan nilai religius dalam diri setiap siswa.

WILAYAH SEJARAH SASTRA, TEORI SASTRA DAN KRITIK SASTRA


1
              WILAYAH SEJARAH SASTRA
a.      Pemahaman Sejarah Sastra
Sejarah sastra adalah salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. Sejarah sastra juga tombak pertumbuhan dan perkembangan sastra di Indonesia yang menyangkut studi yang berhubungan dengan penyusunan sejarah sastra yang menyangkut masalah periodisasi dan perkembangan sastra. Dengan pengertian dasar itu, tampak bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa sehingga menimbulkan juga pengertuan lain bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran, kritik, dan lain-lain.

b.      Konsep Sejarah Sastra  
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Dengan mempelajari sejarah sastra, kita dapat mengetahui perjalanan sastra dari waktu ke waktu sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Tugas sejarawan sastra bukan hanya sekadar mencatat, dan menginventarisasi karya sastra, tetapi tugasnya lebih dari itu. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, ia harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik, periode-periode yang memuat karya-karya sastra, serta masalah lainnya yang menyangkut masalah sastra. Oleh karena itu, dalam mempelajari sejarah sastra tidak lepas dari teori dan kritik sastra.
Menurut Teeuw, pengkajian sejarah sastra hendaklah bertolak dari berbagai cara yang dapat membantu peneliti dalam meneliti sejarah sastra sehingga menghasilkan sejarah sastra yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.


Bagan lahirnya periodisasi Sastra
 





c.       Judul penelitian yang berkaitan dengan sastra 
-          Analisis Literasi Kritis Puisi Takut 66, Takut 98 Karya Taufiq Ismail Yang Merepresentasikan Kekuasaan.
-          Kajian Historis dalam Puisi “Karawang Bekasi” Karya Chairil Anwar
-          Kajian Historis Dan Nasionalisme Dalam Dua Puisi Tentang “Diponegoro”
-          Kajian Historis Puisi Takut 66, Takut 98  Karya Taufiq Ismail

d.      Kajian Historis
(dalam lampiran 1)

2            WILAYAH TEORI SASTRA
a.      Teori yang berkenaan dengan pengarang
Teori yang berkenaan dengan pengarang atau Artist (pencipta karya sastra) adalah ebagai seorang pengarang yang menghasilkan karya sastra dia berangkat dari berbagai ide, pemikiran, perasaan, pandangan, gagasan serta hal lain yang menyebabkan ia akhirnya menulis karya sastra. Ia mengekspresikan segala yang terdapat di dalam dirinya ke dalam bentuk karya sastra. Dari sudut pandang ini, teori ekspresif dan pendekatan ekspresif merupakan teori dan pendekatan yang digunakan dalam mempelajari karya sastra.
b.      Teori yang berkenaan dengan karya sastra
Work (karya sastra itu sendiri) sebagai suatu objek yang dipelajari. Karya sastra sebagai suatu karya yang telah dihasilkan penulisnya memiliki struktur sendiri yang membangun keutuhan dirinya. Sebagai suatu karya ia telah terlepas dari pengarangnya. Dari sudut pandang ini, teori dan pendekatan struktural, atau pendekatan objektif merupakan teori dan pendekatan yang digunakan dalam mempelajari karya sastra.
c.       Teori yang berkenaan dengan pembacanya
Audience (pembaca). Pembaca adalah penikmat karya sastra. Pengarang menulis karya sastra tentunya untuk dibaca, untuk dinikmati oleh orang lain. Dari sudut pandang ini, teori pragmatik dan pendekatan pragmatik digunakan dalam mempelajari karya sastra, yaitu penekanan pada aspek pembaca sebagai penikmat karya sastra.

             WILAYAH KRITIK SASTRA
a.      Latar belakang adanya kritik sastra
Lahirnya kritik sastra telah melengkapi bidang studi sastra atau wilayah ilmu sastra menjadi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Sering orang mencampuradukkan ketiga bidang studi ini padahal ketiganya mempunyai wilayah yang berbeda walaupun saling berhubungan, saling menunjang,dan saling mengisi. Kritik sastra merupakan bidang studi sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya, yang membahas bernilai tidaknya sebuah karya sastra. Seorang pembaca sastra dapat membuat kritik sastra yang baik apabila dia betul-betul menaruh minat pada sastra, terlatih kepekaan citanya, dan mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawinya. Yang dimaksud dengan mendalami serta menilai tinggi pengalaman manusiawi adalah menunjukan kerelaan psikologinya untuk menyelami dunia karya sastra, kemampuan untuk membeda-bedakan pengalaman secara mendasar, dan kejernihan budi untuk menentukan macam-macam nilai.

b.      Manfaat kegiatan kritik sastra
Kata kritik dianggap kata yang bermakna negatif karena menilai sesuatu dari sisi kekurangan dan kelemahannya, menghakimi seseorang atas kekurangannya sehingga orang yang dihakimi tidak dapat berkembang.
Manfaat kritik sastra diantaranya:
ü  Seseorang yang menerima untuk dikritik dia akan merasa bahwa dengan dikritik dia akan memperoleh masukan dan pembelajaran tentang kekurangan atau kelemahannya, bahkan juga keunggulannya. Dengan demikian ia akan berusaha memperbaiki kekurangan dan kelemahannya sehingga karyanya akan menjadi lebih baik dan ia akan menjadi orang yang sukses dalam bidangnya. Demikian halnya dengan pengertian kritik, khususnya dalam kritik sastra.

c.       Metode Kritik sastra
a)       Metode Pendekatan Kritik Sastra Feminis
Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.
Dengan kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Oleh karena itu, seperti dijelaskan Djajanegara (2000), terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.
Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.
Feminisme dan kritik sastra feminis membawa angin segar dalam perkembangan kesusastraan. Di berbagai wilayah, berkat usaha para kritikus feminis, para perempuan dan karyanya mulai dipertimbangkan dengan adil. Banyak karya perempuan yang awalnya oleh para kritikus tradisional dianggap bukan kanon, setelah melalui pengkajian dari sudut feminisme diterima masyarakat sebagai kanon. Karya Mary Ann Cross (George Eliot) di Inggris adalah salah satu contohnya.
Angin segar itu misalnya terasa dari kajian-kajian gynocritics dari berberapa kritikus sastra, antara lain oleh Korrie Layun Rampan berupa penyusunan antologi dan pengkajian karya-karya khusus perempuan yang sangat membantu penyusunan ulang sejarah kesusastraan dalam hubungannya dengan keberadaan perempuan, peningkatan pemberian kesempatan terhadap perempuan dalam kegiatan-kegiatan sastra (meski belum imbang antara laki-laki dan perempuan), dan kritik yang lebih objektif dalam melihat keunggulan karya perempuan sehingga saat ini karya perempuan diperhitungkan dan menempati kanon-kanon sastra.

b)     Metode Pengudaran Teks
Metode pengudaran teks (explication de text) telah di perkenalkan atau di paparkan secara panjang lebar oleh Andre Hardjana(1981: 50-58); ringkasannya kurang lebih sebagai berikut.Metode tersebut sebenarnya sudah di tinggalkan oleh para kritikus di negara-negara maju karena di sana telah berkembang teori-teori sastra yang canggih dari psikologi, sosiologi, fenomenologi, dan strukturalisme, namun pengudaran teks masih dapat di manfaatkan oleh kritikus pemula (yunior), khususnya mahasiswa Indonesia yang belum sepenuhnya menguasai teori-teori mutakhir dari Barat, bahkan tidak memiliki tradisi kritik sastra yang mapan. Pada prinsipnya, dengan metode tersebut kritikus menghadapi karya sastra secara langsung dengan segenap pengalaman dan pengetahuanya sehingga memperoleh pemahaman yang orisinal terhadap karya sastra yng bersangkutan. Dengan metode itu, kritikus tidak merasa terbebani seperangkat teori yang rumit-rumit, namun tidak berarti hanya mengandalkan pengalaman dan pengetahuannya sendiri.

c)       Metode Struktural
Mudah di pahami bahwa metode struktural bertumpu pada pendekatan objektif dan strukturalisme yang mnganalisis jalinan unsur-unsur struktur karya sastra dalam pembentukan suatu gagasan dan makna tertentu. Dari telaah Kritik Sastra Indonesia ( Yudiono K.S, 1986: 52-56) di peroleh catatan bahwa metode tersebut berkembang pada pertengahan abad ke-20 sebagai reaksi terhadap studi sastra bad ke-19 yang bersifat historis komparatif sebagaimana lazim berlaku dalam studi bahasa, sedangkan strukturalisme merupakan reaksi terhadap eksitensialisme sebagai aliran filsafat yang marak di Prancis setelah Perang Dunia II. Strukturalisme Prancis itu berasal dari Amerika Serikat melalui pertemuan ahli bahasa Roman Jakobson dan antropolog Claude Levi-Strauss, dan sejak tahun 1965 telah menumbuhkan beberapa aliran atau pendekatan seperti deskripsi teks berdasarkan analisis bahasa Jakobson, kritik sastra Roland Barthes, dan narratologi.

d)      Metode Sosiosastra
Sesuai dengan namanya, metode sosiosastra merupakan seperangkat alat untuk memahami hubungan antara karya sastra dengan kehidupan sosial yang melingkunginya berdasarkan pandangan bahwa karya sastra iu di ciptakan pengarang sebagai individu yang pasti berada dalam lingkungan masyarakat dan zaman tertentu,sehingga masuk akal apabila karya sastra mengungkap berbagai masalah yang terjadi dalam masyarakat sesuai  dengan gagasan atau persepsi pengarang yang bersangkutan. Apabila kemudian karya sastra itu sampai ke tangan pembaca, sebenarnya telah melewati prosedur yang panjang dan berliku terkait dengan (sekurang-kurangnya)peranan penerbit, penyalur, kebijakan pemerintah, tradisi, dan pendidikan sastra. Dengan demikian, secara teoretis dapat dikatakan bahwa karya sastra apapun tidak bisa di pisahkan dari kehidupan masyarakat walaupun relevansinya dengan kehidupan sosial merupakan persoalan tersendiri yang terbilang  rumit sebagaimana telah dipaparkan oleh para ahli dan pelapor sosiologi sastra.
.
e)       Metode perbandingan
Metode perbandingan sudah lama di pergunakan oleh filologi, sebuah disiplin ilmu yang memusatkan  perhatian terhadap naskah-naskah kuno dengan tujuan mencari naskah yang asli atau mendekati aslinya sebagai bahan penelitian dalam pengkajian teks untuk mengetahui gambaran kehidupan manusia dan sosial budaya zaman-zaman yang silam. Metode perbandingan  hanya merupakan salah satu metode pengkajian naskah karena masih ada meode-metode lain yang harus di terapkan oleh filologi, yaitu penerapan naskah, penerapan teks, transliterasi, rekontruksi teks, dan penyutingan.

f)        Metode Pendekatan Kritik Sastra Formalis
Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.
Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).
g)       Metode Pendekatan Kritik Sastra Respon Pembaca      
Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam hal ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari karakter pembaca merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca pasrah.
1.      Pembaca Gelisah
Pembaca gelisah adalah publik pembaca sebagai penikmat karya sastra apa adanya dan tak mau ambil pusing tentang sastra. Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir adalah penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki pekarya sastra agar karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca. Kritik sastra adalah studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel seperti halnya arca diam membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.
Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar memiliki satu interpretasi yang mantap, mereka memerlukan berbagai interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.
2.      Pembaca Pasrah
Membangun keinginan seseoroang agar tertarik pada sastra adalah panggilan jiwa untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah tepat siswa ditakut-takuti oleh monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent) adalah medium untuk menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi jujur.
Sastra berhubungan dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo, 1995:208) mengatakan cakrawala harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan
Pembaca  sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).
   1.         The Real Rreader  (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.
   2.         Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)
                      a.         Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe, yaitu  ril, historis, dan hipotesis. Yang ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan peran pembaca yang tersimpan dalam teks.
                     b.         Ideal Reader (Pembaca Idial)
Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun banyak yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.
Seorang pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat pernyatan apa pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan.
Dalam perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa  terminologi khusus.
                     1.         Superreader (Pembaca Pakar)
Tipe pembaca ini selalu muncul bersama-sama isyarat dalam teks dan dengan demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik. Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap unsur utama bahasa. Pembaca ini memberikan bukti bahwa fakta stilistik berdiri di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.
                     2.         Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)
Informed reader adalah (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa di luar teks; (b) seseorang yang memiliki pengetahuan yang matang yang dibawa pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang memiliki kompetensi kesastraan.
                     3.          Intended Reader (Pembaca Harapan)
Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan peran pembaca.
                     4.         Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)
Pembaca tipe ini memiliki konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan merupakan sebuah konstruksi serta tidak dapat diidentifikasi dengan pembaca nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang penerima tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi masalah siapa pembaca itu, tetapi yang jelas pembaca tipe ini diberi tawaran sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni peran pembaca sebagai sebuah struktur tekstual dan peran pembaca sebagai act (tindakan/aturan) yang terstruktur.
h)     Metode Pendekatan Pisikologis
   Pendekatan pisikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan prilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia lebih dalam maka kita membutuhkan Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba berkaitan dengan ilmu tehnologi yang canggih ini, manusia memiliki konflik kejiwaan yang yang bermula dari sikap tertentu yang akhirnya berpengaruh dalam kehidupannya.
Berangkat dari pemikiran semacam itu muncullah  pendekatan Pisikologis dalam telaah atau penelitian sastra. Para pakar pisikologis terkemuka seperti Jung, Adler, freud, dan Brill memberikan infirasi yang cukup banyak tentang pemecahan masalah  misrteri tingkah laku manusia melalui teori-teori pisikologi. Namun hanya Freud yang secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat dari tekanan dan tinbunan masalah dibawah alam sadar yang kemudian disumlimasikan kedalam bentuk penciptaan karya seni pisikologi yang di bawa oleh Freud ini disebut pisikologianalisis yang bayank diterapkan dalam penelitian sastra lewat bpendekatan pisikologi.
                
d.      Esai kritik sastra dan pembelajaran
(dalam lampiran 2)






































BERBAHASA SEJAK LAHIR

  BERBAHASA SEJAK LAHIR :Siti Halimah   “Terdapat banyak bukti bahwa manusia memiliki warisan biologi yang sudah ada sejak lahir berup...